Bersiap Menghadapi Tekanan Fiskal 2026: Ujian Nyata Kepala Daerah!

Pemotongan TKD 2026 sebesar 25% menguji kapasitas Pemda. Layanan publik terancam, PAD perlu optimalisasi kreatif, dan akuntabilitas politik dipertaruhkan.

Budi Arista Romadhoni
Sabtu, 25 Oktober 2025 | 10:24 WIB
Bersiap Menghadapi Tekanan Fiskal 2026: Ujian Nyata Kepala Daerah!
Direktur Eksekutif The Justice Institute, dan akademisi UIN Walisongo Semarang, M. Kholidul Adib. [Istimewa]
Baca 10 detik
  • Tekanan fiskal 2026 mengancam daerah imbas pemotongan dana transfer pusat (TKD) 25%.
  • Layanan publik esensial, stabilitas sosial, & akuntabilitas politik kepala daerah kini diuji.
  • Inovasi, rasionalisasi belanja, & sinergi jadi kunci; Kemendagri fasilitasi lewat retret.

SuaraJawaTengah.id - Hubungan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah akan menghadapi ujian krusial pada tahun 2026.

Rencana pemotongan dana Transfer Ke Daerah (TKD) yang signifikan memunculkan diskursus serius mengenai kapasitas, inovasi, dan akuntabilitas Pemerintah Daerah (Pemda) dalam mengelola otonominya.

Menurut analisis Dr. M. Kholidul Adib, SHI, MSI., seorang pengamat kebijakan publik dari UIN Walisongo Semarang, situasi ini bukan sekadar persoalan angka, melainkan tantangan fundamental bagi arsitektur desentralisasi fiskal di Indonesia.

"Pemerintah Daerah sedang menghadapi tekanan fiskal yang signifikan pada tahun 2026 akibat pemotongan dana Transfer Ke Daerah (TKD) dari Pemerintah Pusat. Pemotongan ini diperkirakan mencapai 25% dari anggaran sebelumnya," ungkap Direktur Eksekutif The Justice Institute tersebut dikutip pada Sabtu (25/10/2025).

Baca Juga:BRI dan BPN Jateng Teken Kerjasama Fasilitas Payroll Pegawai dan Layanan Perbankan Lainnya

Ia menekankan bahwa kontraksi fiskal sebesar itu berpotensi memicu guncangan ekonomi dan sosial jika tidak dimitigasi dengan kebijakan yang cermat dan inovatif di tingkat daerah.

Implikasi Multidimensi: Dari Layanan Publik Hingga Politik

Secara teoretis, dampak pemotongan TKD akan bersifat multidimensi. Pertama, ancaman kontraksi pada layanan publik esensial.

Pemda kemungkinan besar akan terpaksa melakukan rasionalisasi anggaran pada sektor-sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar yang langsung menyentuh hajat hidup orang banyak.

Kedua, dilema kebijakan dalam optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Untuk menambal defisit, Pemda mungkin akan mengeksplorasi instrumen fiskal lokal, termasuk intensifikasi atau ekstensifikasi pajak dan retribusi.

Baca Juga:Jalur Pantura Semarang-Demak Lumpuh, Banjir 70 Cm Paksa Pekerja Numpang Truk Demi Cari Nafkah

"Kasus demonstrasi rakyat Pati yang menolak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan pada bulan Agustus lalu, merupakan bagian dari dampak tekanan fiskal di daerah," jelas Kholidul Adib.

Hal ini menunjukkan betapa sensitifnya kebijakan fiskal lokal dan risikonya terhadap stabilitas sosial.

Ketiga, implikasi terhadap akuntabilitas politik. Kepala daerah yang terikat janji kampanye saat pilkada akan dihadapkan pada realitas keterbatasan anggaran. Ini menjadi ujian sesungguhnya bagi efektivitas kepemimpinan.

"Jika pemerintah tidak inovatif dan tidak kreatif maka akan membuat kepala daerah dianggap kurang berhasil melaksanakan janji-janjinya saat pilkada," tegasnya.

Menuntut Paradigma Baru Pengelolaan Anggaran

Menghadapi tantangan ini, Pemda dituntut untuk beralih dari paradigma administratif-rutin ke paradigma manajemen strategis.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini