SuaraJawaTengah.id - Tragedi 1965 menjadi tsunami politik yang merenggut kemanusiaan. Merampas anak-anak dari buaian para ibu.
Mia Bustam salah seorang korbannya. Aktif sebagai anggota Lekra, menyebabkan Mia 13 tahun berpindah-pindah tempat penahanan tanpa pernah diadili.
Istri pertama bapak seni rupa modern, Sudjojono ini kenyang merasakan dinginnya lantai penjara Wirogunan, Benteng Vredeburg, penjara Plantungan, Wleri, dan Kendal, hingga akhirnya dibebaskan dari penjara perempuan Bulu, 27 Juli 1978.
Pada Oktober 2009, kami menemui Mia Bustam di rumahnya yang asri di Kampung Kandang, Cinere, Jakarta Selatan. Berjarik jawa, Mia Bustam hangat menyambut kami di ruang tamu.
Namaku Mia Bustam. Resiko sebagai anggota Lembaga Kesenian Rakyat, mendamparkanku ke lantai penjara dingin sisa kolonial ini. Aku bersama ribuan kawan lainnya, dicampakkan, dibuang, dan dihilangkan oleh kuasa rezim kesewenangan.
Apa salahnya, meyakini seni yang bukan hanya untuk seni. Apa salahnya menjadi anggota PKI.
“Berdiri kau. Sana bersandar pada dinding.”
Seorang pemuda yang ditugasi menginterogasi para tahanan PKI di Benteng Vredeburg membantakku.
“Kenapa kau jadi anggota Lekra! Tak tahu kau, Lekra itu mantel PKI!,” Matanya yang merah darah loncat menikamku.
Baca Juga: AHY Ceritakan Kesaksian Kakeknya yang Dikenal Sebagai Penumpas PKI
Kembali dia menghardik. “Bawa perintah apa dari Jakarta?”
Belakangan aku tahu pemuda itu bukan serdadu RPKAD, pimpinan Letkol Sarwo Edhi Wibowo yang ditugaskan memburu orang-orang yang dituduh anggota PKI di sepanjang Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.
Dia mahasiswa Universitas Indonesia. Anggota Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang direkrut tentara karena piawai mengamuk dan memaki.
Aku diam. Tak ada alasan menjawab pertanyaan pria kesurupan ini. Mendadak dia mencabut pisau dan melemparkannya ke arahku.Crok! Pisau itu menancap di dinding beberapa senti di atas kepalaku.
Aku terkesiap. Jantungku berhenti. Hatiku berdesir, nafas tercekat berhenti di kerongkongan. “Tiba sudah ajalku,” dalam hati.
Dia melangkah perlahan ke arahku. Matanya nyalang haus darah. Dicabutnya pisau tadi dan kembali dilempar ke arahku berkali-kali. Menancap di kanan, kiri leherku. Nyaris merobek urat nadi di batang tenggorokan. Mulutnya terus mendesiskan cacian. Mengalirkan bisa kata-kata dari lidahnya yang bercabang.
Berita Terkait
-
SMRC: Warga Percaya Isu PKI Cuma 10 Persen, Tak Pernah Dengar Lebih Banyak
-
Cerita Mbah Margo, Kakek yang Diminta Masuk Luweng untuk Cari Jasad PKI
-
Survei Terbaru: 37 Juta Warga Indonesia Percaya PKI Akan Bangkit
-
Momen ketika PKI Menerima Pancasila dan Juga Sila Ketuhanan yang Maha Esa
-
Fadli Zon Klaim Punya Bukti PKI Dalang Kudeta 30 September 1965
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Sepatu New Balance Diskon 70% Jelang Natal di Sports Station
- Analisis Roy Suryo Soal Ijazah Jokowi: Pasfoto Terlalu Baru dan Logo UGM Tidak Lazim
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- Kebutuhan Mendesak? Atasi Saja dengan BRI Multiguna, Proses Cepat dan Mudah
Pilihan
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
-
Samsung PD Pasar Tablet 2026 Tetap Tumbuh, Harga Dipastikan Aman
-
Breaking News! John Herdman Jadi Pelatih Timnas Indonesia, Tunggu Diumumkan
Terkini
-
Pertamina Patra Niaga Gelar Khitan Massal di Cilacap, Wujud Syukur HUT ke-68 Pertamina
-
5 MPV Diesel Pilihan Rp150 Jutaan yang Worth It untuk Keluarga di Akhir 2025
-
BRI Perkuat Aksi Tanggap Bencana Alam, 70 Ribu Jiwa Terdampak Beroleh Bantuan
-
PSIS Semarang Gegerkan Bursa Transfer: Borong Tiga Pemain Naturalisasi Sekaligus
-
8 Wisata Terbaru dan Populer di Batang untuk Libur Sekolah Akhir 2025