Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Senin, 19 Oktober 2020 | 09:47 WIB
Bagus Priyana, Ketua Velocipede Old Classic (VOC) dengan sepeda kayunya di Magelang. (Suara.com/Angga Haksoro)

SuaraJawaTengah.id - Baron von Drais mungkin tak pernah membayangkan jika desain “mesin yang bisa berlari” buatannya kini ramai lalu lalang di jalanan. Teknologi dan desain sepeda dikembangkan untuk beragam kebutuhan: olah raga, hobby, bahkan gengsi.

Sepeda berevolusi tak hanya menjadi sekadar alat transportasi. Beberapa sepeda diproduksi dalam jumlah terbatas untuk tujuan koleksi.

Sepeda jenis road bike, Butterfly Madone, terjual dalam sesi lelang yang diadakan Lance Amstrong Foundation seharga 500.000 dolar AS.

Pada penggalangan dana yang digagas yayasan amal milik juara Tour de France 7 kali itu, juga terjual sepeda termahal kedua, Yoshimoto Nara seharga 200.000 dolar AS.

Baca Juga: Sepeda Anak Dicuri, Fotonya Malah Buat Warganet Iba pada si Maling

Mirip kontroversi Lance yang terendus menggunakan doping setelah meraih gelar Tour de France-nya yang ke-7, sejarah awal desain sepeda juga simpang siur.

Sekitar 327 tahun sebelum Baron von Drais menciptakan Velocipede (tahun 1817), seniman Leonardo Da Vinci konon telah membuat sketsa desain sepeda. Tapi seniman Italia ini tidak mampu mewujudkan kendaraan imajinernya itu secara fisik.

Desain Velocipede Baron von Drais kemudian diperbaiki Pierre dan Ernest Michaux, duo mekanik asal Prancis pada tahun 1863. Pierre dan Ernest menambahkan pedal yang langsung dihubungkan pada sumbu roda depan.

Dari bengkel milik keluarga, keduanya kemudian mengembangkan desain sepeda bermesin uap yang diyakini sebagai cikal kendaraan roda dua modern.

“Jadi bisa dibilang, Pierre dan Ernest Michaux ini penemu cikal bakal sepeda modern. Kemudian dikembangkan sebagai kendaraan bermotor di darat pertama,” kata Bagus Priyana, Ketua Velocipede Old Classic (VOC) Magelang, Minggu (18/10/2020).

Baca Juga: Tertipu Saat Test Drive, Sepeda Motor Andi Digondol Calon Pembeli

Bertepatan dengan ulang tahun VOC Magelang ke-17, Bagus memamerkan hasil mereproduksi Velocipede buatan Pierre dan Ernest Michaux. Butuh waktu 4 bulan untuk membangun sepeda yang seluruh bahannya dari besi dan kayu bekas.

Bagus belum pernah melihat wujud Velocipede secara langsung. Spesifikasi sepeda, terutama ukuran roda dicarinya di internet.

“Ini sepeda impian saya sejak 17 tahun lalu. Jenis sepeda Velocipede ini yang menginspirasi saya memberi nama komunitas sepeda VOC (Velocipede Old Classic).”

Demi mewujudkan mimpi dan mendapatkan hasil terbaik, Bagus dibantu 10 mitra kerja dari mulai tukang las, bubut kayu, bubut besi, dan pembuat dokar. Teknik merekatkan besi pada rangka roda yang terbuat dari kayu, persis proses pembuatan roda dokar.

Plat besi yang sudah dibentuk roda, dipanaskan hingga memuai. Plat kemudian diposisikan di luar rangka roda dan dimasukan dalam air hingga menyusut cepat. Teknik ini membuat plat besi ketat merekat pada roda.

Sepeda ini tanpa mekanisme peredam kejut seperti yang yang kita temui pada per sepeda umumnya saat ini. Sebagai gantinya, rangka sepeda tempat sadel dibuat dari plat besi yang elastis.

“Rangka tempat meletakan sadel ini saya ambil dari plat per mobil GAZ buatan Uni Soviet tahun 1960an. Panjang per 106 centimeter, sedangkan tinggi sadel dari tanah sekitar 107 centimeter,” ujar Bagus.

Selain tanpa peredam kejut, sepeda ini aslinya tidak menggunakan mekanisme bearing pada sumbu roda dan headset setang. Teknologi bearing baru ditemukan tahun 1870an, sekitar 7 tahun setelah sepeda ini dibuat.

“Jadi bisa dikatakan ini 95 persen mirip dengan aslinya. Yang tidak mirip hanya saya menggunakan bearing di sumbu roda. Karena aslinya di tahun 1863 itu belum ada bearing atau gotri.”

Hasilnya, Bagus mengaku kesulitan mengendalikan sepeda ini. Sesuai julukannya “Boneshaker”, upaya membelokan sepeda ini setara dengan olah raga mengangkat beban 30 kilogram.

Sepeda klangenan Bagus Priyana ini diberi nama “Golden Dragon”. Nama dan gambar karakter sang naga dicetaknya di sadle berbahan kulit dengan tinta warna emas.

Bagus menduga, sepeda Velocipede hasil reproduksinya satu-satunya di Indonesia. Sekitar tahun 1880 ada arsip yang menyebutkan sepeda Velocipede pernah dikirim dari Prancis ke Hindia Belanda.

“Ada iklan, arsip, dan sebagainya. Tapi hingga hari ini secara fisik belum ditemukan. Jadi bisa jadi ini sepeda reproduksi satu-satunya di Indonesia,” kata Bagus.

Velocipede buatan Bagus sudah menjalani test dikendarai sejauh 13 kilometer dan akan digenapi menjadi 17 kilometer sesuai usia komunitas pecinta sepeda tua Magelang, Velocipede Old Classic.

Selama masa “pendekatan” itu, sang naga sukses membuat si empunya 2 kali jatuh dan 2 kali salto. “Sampai sekarang saya belum berani mengendarai di jalan turunan. Sistem remnya, plat besi bergesekan dengan roda besi. Belum teruji keamanannya.”

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

Load More