Budi Arista Romadhoni
Selasa, 10 November 2020 | 07:45 WIB
Arsip foto Ko Khoen Gwan alias Kusumo Gondho Subroto saat masih muda. Ko Khoen Gwan berjasa membantu produksi senjata untuk tentara masa perjuangan kemerdekaan. (Suara.com/Angga Haksoro Ardhi).

SuaraJawaTengah.id - Warga peranakan turut andil dalam proses lahirnya Republik Indonesia. Mereka pahlawan yang jasanya tidak boleh dilupakan.

Kita mengenal nama besar Liem Koen Hian, pendiri koran Sin Tit Potahun 1929 yang dikenal keras menentang sikap rasial penjajah Belanda. Tahun 1932 Liem mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI).

Meski menyasar pembaca etnis Tionghoa, Sin Tit Po terbit dalam bahasa Melayu. Koran ini juga dibaca luas oleh kalangan bumiputra.

Liem dikenal gigih menyebarkan gagasan keterikatan warga peranakan dengan tanah air tempat mereka dilahirkan. Kebanyakan warga peranakan saat itu adalah generasi kedua yang sudah lahir dan besar di Hindia Belanda.

Liem beranggapan ikatan kebangsaan mereka lebih kuat kepada tanah Hindia Belanda, dibandingkan tanah asal leluhur mereka di Tionghoa. Gagasan ini yang dikemudian hari tumbuh menjadi semangat nasionalisme etnis Tionghoa untuk ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Saat itu tak banyak warga peranakan Tionghoa yang memutuskan terlibat dalam politik pemerintahan Hindia Belanda. Mayoritas bergerak di bidang ekonomi dan perdagangan.

Salah satunya Ko Kwat Ie, pemilik pabrik cerutu “Ko Kwat Ie & Zonen Sigarenfabriek”. Dia adalah generasi ketiga keluarga Ko Tay Tik, imigran Tionghoa asal Fujian yang membawa nama keluarga Ko di Indonesia.

Ko Kwat Ie merintis pabrik cerutu di Batavia tahun 1900. Nanti setelah Ko Kwat Ie meninggal, usahanya dilanjutkan salah seorang anaknya, Ko Hian Ing sebagai manajer.

Sekitar tahun 1908, perusahaan memutuskan memindah pabrik ke Magelang yang lokasinya lebih dekat dengan sentra perkebunan tembakau di Temanggung. Tembakau Temanggung terkenal berkualitas baik, namun saat itu pemasarannya masih bersifat lokal.

Baca Juga: Dana Desa Dirampas KKB Buat Beli Bedil, Kapolda Papua: Ini Jadi PR Kita

Dipilihlah bangunan kecil di Gang Nanking di kawasan Pecinan Magelang sebagai pabrik baru cerutu Ko Kwat Ie & Zonen. Penjualan cerutu jenis Deli Havana, Panama Steer, Massigit Deli, dan Armada laris di kalangan priyayi dan bangsawan Eropa yang tinggal di Hindia Belanda.

Pabrik kecil di Gang Nanking tak lagi muat menampung stok tembakau dan menyimpan hasil produksi cerutu sekaligus. Pabrik diputuskan dipindah ke tempat yang lebih besar di Jalan Prawirokusuman (sekarang jalan Tarumanegara), tak jauh dari rumah Ko Kwat Ie di Djoeritanzuid atau Jalan Juritan Kidul (sekarang Jalan Sriwijaya).

Setelah tutup sekitar tahun 1970-an, kepemilikan gedung sempat berpindah tangan ke PT Mekar Armada Jaya, pemilik usaha karoseri terkenal di Magelang, New Armada. Bekas pabrik cerutu terakhir digunakan sebagai gedung sekolah Bhakti Tunas Harapan.

Nama New Armada katanya terinspirasi oleh cerutu Armada, buatan pabrik “Ko Kwat Ie & Zonen”.

Produksi Senjata di Bengkel Pabrik

Setelah Ko Kwat Ie meninggal 28 Februari 1938, pabrik cerutu dikelola anak-anaknya. Salah satu yang menonjol adalah anak ke 4, Ko Khoen Gwan yang lahir 19 Mei 1906.

Load More