Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Rabu, 13 Januari 2021 | 17:17 WIB
Ilustrasi petani menebar pupuk bersubsidi di pematang sawah, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. [Antara/Aditya Pradana Putra]

SuaraJawaTengah.id - Presiden Joko Widodo mempertanyakan imbal balik dari pupuk subsidi yang diberika kepada petani. Sebab, dengan anggaran sebesar Rp33 triliun yang digelontorkan tiap tahun, hasil dari sektor pertanian belum dirasakan.

Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Akur Tani Jaya, Kelurahan Kalinyamat Kulon, Kecamatan Tegal Selatan, Kota Tegal, Asmawi menilai wajar pernyataan Presiden Jokowi tersebut.

"Apa yang disampaikan Presiden itu memang betul adanya," kata dia kepada Suara.com, Rabu (13/1/2021).

Asmawi mengatakan, selama ini proses untuk mendapatkan pupuk bersubsidi terlalu panjang dan berbelit-belit, sehingga justru menyulitkan petani.

Baca Juga: Timbal Balik Subsidi, Petani Banyumas: Pupuk Subsidi Kualitasnya Jelek

‎Menurut dia, ketika petani ingin mendapatkan pupuk subsidi, mereka harus terlebih dahulu mendapatkan formulir yang disediakan Dinas Pertanian. 

"Prosesnya, petani harus datang ke ketua kelompok tani dulu. Dari ketua kelompok tani lalu ke Gapoktan, dari Gapoktan baru nanti ke penyuluh, dari penyuluh nanti baru ke Dinas Pertanian. Ini kan proses yang cukup panjang dan ini tidak disukai petani‎," ungkapnya.

‎Dengan proses yang panjang tersebut, Asmawi menyebut petani akhirnya banyak yang tidak bisa mendapatkan pupuk bersubsidi. Mereka terpaksa beralih ke pupuk non subsidi yang harganya lebih mahal.

"Daripada ‎dia arus menunggu prosesnya lama, padahal tanamannya harus dipupuk, dengan terpaksa menggunakan pupuk non subsidi. Jelas harganya lebih mahal‎‎," ujarnya.

Sementara pupuk yang tidak terserap petani, menurut Asmawi bisa dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk mendapat keuntungan lebih, yakni dijual dengan harga pasaran.

Baca Juga: Jokowi Tanya Hasil Pupuk Subsidi, Petani: Pupuknya Sering Langka

"Sekarang kan bisa saja ada oknum yang bermain, mungkin di tingkat distributor, atau di mana. Pupuknya tidak disalurkan ke petani‎ tapi justru dijual ke tempat lain kan bisa, kita kan nggak tahu. Belum lagi, muncul pupuk-pupuk palsu. Ini juga masalah," ucapnya.

Asmawi mengungkapkan, selaku ketua Gapoktan, pihaknya setiap tahun membuat Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDRK) terkait kebutuhan pupuk untuk petani baik yang menanam padi maupun palawija. Namun realisasinya, petani banyak yang tidak bisa mendapatkan pupuk bersubdisi.

"Saya sendiri merasa kasihan kepada petani. Sudah harga jual panenya selalu tidak menguntungkan, sementara ongkos tanamnya tinggi, ditambah lagi satu kesulitan mengurus pembelian pupuk yang berbelit-belit‎," ujar dia.

‎Untuk itu, Asmawi meminta pemerintah mengevaluasi sistem penyaluran pupuk bersubdisi agar anggaran yang digelontorkan untuk mensubsidi pupuk dapat dirasakan hasilnya, terutama oleh petani.

"Subsidi pupuk yang harusnya untuk memudahkan dan mensejahterakan petani, tapi pada kenyataannya malah mempersulit," tandasnya.

Kontributor : F Firdaus

Load More