Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Kamis, 11 Februari 2021 | 12:59 WIB
Salah satu tempat pembuatan latopia di Kampung Paweden, Kelurahan Mintaragen, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal‎ yang dikelola oleh lima generasi. [Suara.com/F Firdaus]

SuaraJawaTengah.id - Keberadaan kampung China atau Pecinan hampir bisa ditemukan di setiap kota di Indonesia. Bahkan kota kecil seperti Kota Tegal, dulunya juga memiliki kampung Pecinan, sebagai wilayah yang mayoritas dihuni oleh warga etnis Tionghoa dan menjadi jejak peleburan tradisi China dan pribumi.

‎Sejarawan Pantura, Wijanarto mengatakan, kawasan Pecinan di Kota Tegal berada di wilayah yang sekarang bernama Kampung Paweden, Kelurahan Mintaragen, Kecamatan Tegal Timur.

"Kampung Paweden itu dulu Kampung Pecinan. Itu di wilayah kelenteng sampai di bekas bioskop Riang," ‎kata Wijanarto kepada Suara.com, Kamis (11/2/2021).

Menurut Wijanarto, sebagai Kampung Pecinan, Kampung Paweden tidak hanya sebatas menjadi kawasan tempat tinggal warga keturunan Tionghoa, tetapi juga menjadi tempat tumbuhnya sejumlah industri yang dikelola warga keturunan Tionghoa.

Baca Juga: Momen Penyelamatan Sultan Syarif Kasim II oleh Suku Tionghoa

‎"Di situ muncul industri pembuatan kue latopia, terasi, pabrik kerupuk, udang dan kecap yang didirikan oleh warga etnis Tionghoa," ujar Wijanarto.

‎Dari sejumlah industri tersebut, salah satu yang masih bertahan hingga kini adalah latopia. Di Kampung Paweden, terutama di Jalan Paweden 100, bisa dijumpai sejumlah rumah warga keturunan Tionghoa yang juga dijadikan tempat produksi dan toko latopia. Beberapa di antaranya sudah dijalankan dari generasi ke generasi.

Pembuatan kue pia itu kini juga tak hanya dilakukan oleh warga keturunan Tionghoa, tetapi juga warga pribumi dan menjadi salah satu makanan khas Tegal yang bisa menjadi oleh-oleh bagi para pelancong.

Menurut Wijanarto, latopia menjadi bukti meleburnya tradisi masyararakat Tionghoa dengan tradisi masyarakat pribumi di Kota Tegal.‎

‎"Latopia adalah satu makanan yang diterima masyarakat Tegal walaupun berasal dari tradisi masyarakat Tionghoa. Kalau di Jogja itu bakpia, di Brebes itu telur asin," ucapnya.

Baca Juga: Aneh, Pasar di Kota Tegal Boleh Buka Tapi Saat Tengah Malam hingga Pagi

‎Munculnya Kampung Pecinan di Kota Tegal sendiri menurut Wijanarto berawal ketika terjadi kerusuhan etnis di Batavia (sekarang Jakarta) pada 1740.

Ketika itu banyak orang-orang etnis Tionghoa yang meninggalkan Batavia dan lari ke wilayah Jawa bagian timur, termasuk ke sejumlah kota di pesisir pantura mulai dari Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang hingga Lasem Rembang.

Di daerah-daerah yang akhirnya ditinggali hingga turun-temurun itu, mereka membentuk komunitas dan kampung yang kemudian disebut Kampung Pecinan.

‎"Jadi kurang lebih orang-orang Tionghoa sudah berada di Tegal sejak sekitar abad ke 18,"‎ ujar Wijanarto.

Selain membentuk komunitas, para etnis Tionghoa yang menetap di Kota Tegal juga mendirikan kelenteng‎ sebagai sarana untuk beribadah. 

"Kelenteng ini juga sebagai salah satu pusat komunikasi sesama etnis Tionghoa yang eksodus dari Batavia," ujar Wijanarto.

‎Kelenteng tersebut yakni Kelenteng Tek Hay Kiong yang berlokasi di Jalan Gurame, Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat. Kelenteng tertua di Kota Tegal ini diperkirakan dibangun pada 1760 dan hingga kini masih digunakan untuk beribadah.

Berdasarkan prasasti yang ada di kelenteng, pada awal berdiri, Kelenteng Tek Hay Kiong bernama Jin Jin Bio. Perubahan nama menjadi Tek Hay Kiong terjadi setelah kelenteng direnovasi besar-besaran pada 1837 karena kondisinya rusak.

‎Wijanarto menyebut, Kelenteng Tek Hay Kiong juga menjadi salah satu bukti akulturasi sekaligus asimilasi budaya di Tegal karena keberadaan gamelan di dalamnya.

"Gamelan itu merupakan ‎persembahan untuk menghormati tradisi Jawa. Selain gamelan, di Kelenteng Tek Hay Kiong juga ada sajen khas orang Jawa," ujarnya.

Tradisi Jawa juga tercermin dalam tradisi kirab membawa patung dewa-dewa yang ada di Kelenteng Tek Hay Kiong ke pantai sekaligus untuk dilakukan ritual peribadatan. Tradisi ini biasanya digelar setiap perayaan Cap Go Meh.  

"Tradisi membawa patung dewa ke laut untuk dijamas setiap peryaaan cap Go Meh itu sama dengan tradisi sedekah laut di kalangan orang Jawa," ujar Wijanarto.

Kontributor : F Firdaus

Load More