SuaraJawaTengah.id - Kota Semarang mempunyai masjid bersejarah yang bernama Masjid Layur atau Masjid Menara. Konon masjid tersebut menjadi saksi bisu jejak perdagangan tertua di Semarang.
Masjid Layur dibangun pada tahun 1802 masehi oleh saudagar dari Yaman di Kota Semarang. Awalnya masjid tersebut terdiri dari dua lantai. Namun karena lantai satu sering banjir akhirnya diurug dan tinggal satu lantai yang tersisa.
Dulunya, lantai satu Masjid Layur sering digunakan untuk belajar agama Islam oleh anak-anak di sekitar Jalan Layur, Kelurahan Dadapsari, Kota Semarang. Namun karena lantai satu sering kebanjiran akhirnya lantai tersebut dikosongkan.
Pengurus sekaligus imam Masjid Layur, Ali Mahsun mengatakan, ketika musim hujan di kawasan Masjid Layur memang sering kebanjiran. Selain itu, tanahnya juga mengalami penurunan.
"Kalau musim hujan memang sering kebanjiran sini," jelasnya saatt ditemui SuaraJawaTengah.id, Senin (22/2/2021).
Selain banjir, dia juga merasa jika semakin tahunnya permukaan tanah di sekitar Masjid Layur menurun. Menurutnya, semakin tahun penurunan tanah di lokasi tersebut semakin dalam.
"Sekitar 15 tahun yang lalu kita juga sempat meninggikan tanahnya," ujarnya.
Jika dia hitung, sekitar 20 tahun yang lalu lantai satu Masjid Layur tak dapat digunakan. Padahal, ketika pertamakali Ali menjadi takmir di masjid tersebut dia masih bisa masuk.
"Ketika saya mmenjadi takmir pertamakali masih bisa masuk namun harus membungkuk," imbuhnya.
Baca Juga: Tiga Hari Kota Semarang Tergenang Banjir, Tukang Becak Malah Ketiban Rejeki
Meski setiap tahunnya mengalami penururnan tanah, pihaknya berusaha untuk tak merubah bentuk asli Majid Layur. Pihaknya hanya merenovasi beberapa bagian yang rusak sesuai dengan bentuk aslinya.
"Sampai sekarang bentuk masih asli, kita hanya melakukan renovasi kecil-kecilan. Kita dari phak pengurus tak berani merubahnya," ujarnya.
Peneliti tata kelola air dan kota University of Amsterdam, Bosman Batubara mengatakan, ketergantungan pada air tanah relevan dengan pengelolaan banjir karena pengambilan air tanah yang berlebihan.
"Dari akuifer tertekan dapat menyebabkan terjadinya amblesan tanah (land subsidence)," jelasnya beberapa waktu yang lalu.
Menurutnya, penurunan tanah berdampak pada peningkatan risiko banjir. Banjir yang dimaksud adalah bajir lokal akibat curah hujan di satu lokasi melebihi kapasitas sistem drainase yang ada.
"Yang kedua yaitu banjir rob yang terjadi akibat aliran dari air pasang atau aliran balik dari saluran drainase akibat terhambat oleh air pasang," ujarnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Model Honda Jazz Bekas Paling Murah untuk Anak Kuliah, Performa Juara
- 4 Motor Matic Terbaik 2025 Kategori Rp 20-30 Jutaan: Irit BBM dan Nyaman Dipakai Harian
- 7 Sunscreen Anti Aging untuk Ibu Rumah Tangga agar Wajah Awet Muda
- Mobil Bekas BYD Atto 1 Berapa Harganya? Ini 5 Alternatif untuk Milenial dan Gen Z
- Pilihan Sunscreen Wardah yang Tepat untuk Umur 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
6 HP Snapdragon RAM 8 GB Termurah: Terbaik untuk Daily Driver Gaming dan Multitasking
-
Analisis: Taktik Jitu Andoni Iraola Obrak Abrik Jantung Pertahanan Manchester United
-
29 Unit Usaha Syariah Mau Spin Off, Ini Bocorannya
-
Soal Klub Baru usai SEA Games 2025, Megawati Hangestri: Emm ... Rahasia
-
Pabrik VinFast di Subang Resmi Beroperasi, Ekosistem Kendaraan Listrik Semakin Lengkap
Terkini
-
3 Pilihan Mobil Bekas Rp60 Jutaan: Irit BBM, Nyaman untuk Perjalanan Luar Kota
-
7 Destinasi Wisata Kota Tegal yang Cocok untuk Liburan Akhir Tahun 2025
-
Gaji PNS Naik Januari 2026? Kabar Gembira untuk Abdi Negara
-
Jawa Tengah Borong Penghargaan Teknologi Pendidikan 2025: Rahasia Sukses PPDB Bebas Komplain
-
Rekomendasi Tempat Wisata Thailand untuk Wisatawan Pemula