Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Selasa, 23 Februari 2021 | 17:33 WIB
Maidi memberi pakan buah pakel kesukaan Sella, salah satu gajah yang dipelihara di kompleks Candi Borobudur. Gajah Sumatera itu ternyata pemberian dari Presiden Soeharto. [Suara.com/ Angga Haksoro Ardhi]

SuaraJawaTengah.id - Lima gajah Sumatera menghuni kompleks wisata Candi Borobudur. Terkait dengan kisah Hasti Jataka yang terpahat pada relief Borobudur.

Mahout atau pawang gajah Borobudur, Maidi (47 tahun) menceritakan keberadaan gajah sumatera, bermula dari kunjungan Presiden Soeharto sekitar tahun 1990. 

Presiden ke-2 RI itu menyumbangkan sepasang gajah sumatera, Sella dan Bery setelah mengetahui adanya kisah gajah pada relief Borobudur. Kisah gajah dalam relief diambil dari kitab sastra Jatakamala karya Aryasura. 

Gajah yang dimaksud dalam kitab Jatakamala atau Jataka disebut sebagai penjelmaan Boddhisatwa atau Sang Buddha. Pada relief lainnya, gajah juga diceritakan sebagai hewan tunggangan.  

Baca Juga: Sejarah Geologi Borobudur, Teratai di Tengah Danau Purba

“Pertama kali ada gajah itu bantuan dari Pak Harto (Presiden Soeharto). Saat kunjungan ke Borobudur ada relief tentang gajah, akhirnya di sini dikasih gajah. Sella sama Bery waktu itu. Yang betina Sella dan yang jantan Bery,” kata Maidi saat ditemui di kandang gajah kompleks Candi Borobudur, Selasa (23/2/2021).

Menurut Maidi, saat ini ada 5 ekor gajah yang menghuni kandang di dalam kompleks Candi Borobudur. Terdiri dari 2 gajah jantan: Bona dan Indra, serta 3 gajah betina: Sella, Molly, dan Lizzie.     

Sella salah satu gajah pertama yang didatangkan ke Borobudur, saat ini berusia 45 tahun. Gajah jantan yang usianya juga sudah tua yaitu Bona, saat ini berusia sekitar 30 tahun.     

“Yang paling muda Indra, gajah yang ada di belakang sana. Karena ada dua jantan, otomatis kami pisah. Nanti kalau malam kami satukan lagi disini,” kata Maidi.

Gajah jantan harus dipisahkan untuk menghindari perkelahian akibat konflik dominasi wilayah. Pemisahan gajah jantan juga diberlakukan di tanah lapang tempat umbaran.

Baca Juga: Borobudur Jadi Pusat Ibadat Umat Buddha, BPPI: Bagus Jika Seperti Mekah

Menurut Maidi, gajah rutin diajak jalan berkeliling kompleks candi hingga Bukit Dagi. Pada kesempatan ini gajah mendapat kesempatan memakan rumput embun. 

“Itu rumput biasa seperti ini, tapi di pagi hari. Itu bagus untuk gajah. Kalau sering berada di dalam kandang gajah akan jenuh, jadi mahout selalu mengajak jalan ke luar.”

Pada tahun 2009 Taman Wisata Candi (TWC) Borobudur sempat mengurus izin konservasi gajah ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah. Tidak hanya memelihara, TWC mengajukan izin perlindungan hewan dan mengembangbiakkannya.

Saat itu hanya ada satu gajah jantan di Borobudur. Kemudian didatangkan Indra, gajah jantan yang sebelumnya dirawat Taman Rekreasi Margasatwa (TMRS) Seruling Mas, Banjarnegara. 

“Gajah yang lainnya karena disini dirawat dengan baik dan pertumbuhannya bagus dan kesehatannya juga baik, termonitor oleh dokter akhirnya ditambahi sampai empat gajah itu. Semuanya dari Way Kambas, kecuali Indra dari Seruling Mas,” kata Maidi.

Sambil memberi makanan kesukaan Sella berupa buah pakel atau bacang, Maidi menceritakan suka dukanya menjadi mahout atau pawang gajah. Meski secara umum gajah-gajah di Candi Borobudur tergolong jinak, ada saat tertentu dimana mahout harus waspada.

Saat birahi gajah jantan dikenal lebih agresif dan punya kecederungan menyerang. Masing-masing mahout harus mengenali karakter gajah peliharaannya untuk menghindari kecelakaan. 

“Sangat riskan itu saat gajah jantan mengalami masa emas (birahi). Masa emas itu perubahan hormon. Awal mulainya masa birahi itu kita nggak tahu dan membahayakan. Perilakunya gajah bisa berubah brutal dan agresif,” kata Maidi. 

Mahout atau pawang gajah jantan dituntut setiap hari mengamati perilaku gajah dampingannya sebelum mendekat. Berjaga-jaga jika gajah sedang memasuki masa birahi.

“Perilaku yang agak mudah diperhatikan itu matanya. Dia selalu mencari kelengahan pawang atau plirak-plirik. Sama telinganya selalu tegap. Kalau gajah normal telinga dikibas-kibaskan itu tandanya santai,” ujarnya.

Maidi mengaku selama ini belum pernah terjadi insiden akibat serangan gajah. “Pengalaman menegangkan itu dulu sebelum dihentikan aktivitas gajah tunggangan. Naik gajah saat melayani tamu, ada suara helikopter yang bikin gajah takut. Gajah kabur. Lumayan panik juga ya. Khawatir karena harus melindungi tamu juga.”

Setelah tidak lagi dimanfaatkan sebagai atraksi gajah tunggangan, hewan-hewan besar ini sekarang menjadi daya tarik lain wisata di Candi Borobudur. Sella misalnya, memiliki keahlian melukis yang dapat dipertontonkan kepada para wisatawan. 

Selama pandemi Covid-19, jumlah pengunjung Borobudur berkurang drastis. Hal itu menyebabkan atraksi menonton gajah dihentikan sementara.

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

Load More