Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Senin, 19 April 2021 | 16:32 WIB
Masjid At-Taqwa yang berlokasi di Desa Loram Kulon, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus. [Suara.com/Fadil AM]

SuaraJawaTengah.id - Masjid At-Taqwa atau sering disebut Masjid Wali Loram yang berlokasi di Desa Loram Kulon, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus memiliki arsitektur yang cukup unik. Mengingat bangunan ini, memadukan kultur Islam dan Hindu.

Tempat ibadah yang juga dikenal sebagai Masjid Wali Loram ini, dibangun oleh Sultan Hadirin untuk berdakwah dan menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.

Di halaman depan, tepatnya di selebah timur masjid, pengunjung bisa melihat keindahan Gapura Padureksan yang telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.

Pengurus Masjid dan Juru Pelihara Cagar Budya, Afroh Aminuddin mengatakan, Gapura Padureksan sendiri dibangunan pada tahun 1596. Sementara masjid At-Taqwa dibangun pada tahun 1597.

Baca Juga: Sering Kirim Bantuan ke Luar Dearah, Ganjar Sebut Stok Logistik Aman

“Yang dikatakan benda cagar budaya hanya gapura, sementara masjid sudah mengalami perubahan,” ujarnya saat ditemui Suara.com, Senin (19/4/2021).

Awalnya, lanjut Afroh, jarak antara masjid dan gapura cukup jauh yakni sekitar 40 meter. Untuk kemudian pada tahun 1971 bangunan masjid diperluas dengan ditambah serambi. Sehingga membuat jarak antara masjid dan gapura kini hanya sejengkal.

Lantaran tidak mampu menampung lagi jumlah jamaah, Masjid At-Taqwa dipugar habis-habisan pada tahun 1990. Dan pada tahun 2011, serambi yang semula hanya satu lintai dibuat menjadi berlantai dua.

“Tahun 1990 direnovasi total karena tidak lagi menampung Salat Ied. Direnovasi total karena belum ada undang-undang cagar budaya juga,” ungkap Afroh.

Sementara, gapura direnovasi oleh tim Dinas Purbakala Jawa Tengah (saat itu) pada tahun 1996. Pasalnya, gapura mengalami kemiringan karena dimakan usia, sehingga perlu pembenahan.

Baca Juga: Jadwal Imsakiyah Jawa Tengah 16 April 2021

“Itu kalau tidak dibenahi bakal rusak, sehingga tim renovasi dari Dinas Purbakala Jateng sendiri yang turun tangan,” jelasnya.

Alasan Sultan Hadirin terlebih dahulu membangun gapura, dikatakan Afroh sebagai strategi dakwah. Karena saat itu, mayoritas masyarakat memeluk agama Hindu.

“Kenapa gapuranya dulu? untuk berdakwah menyebarkan agama Islam. Arsitekturnya bercorak Hindu, agar masyarakat tidak kaget,” terangnya.

Sultan Hadirin pun menamai bangunan berbentuk Pura itu, menjadi Gapuro akronim Gofuro dalam bahasa Arab yang berarti tempat untuk meminta maaf (panggonan jalok ngapuro).

Sosok Sultan Hadirin merupakan suami Raden Roro Ayu Kalinyamat sang penguasa Jepara. Hanya saja, setelah sekian tahun menjalin rumah tangga, pasangan tersebut tidak dikaruniai anak.

Kasihan dengan suaminya, sang Ratu Kalinyamat memperkenankan suaminya untuk menikah lagi. Dan dijodohkanlah Sultan Hadirin kepada Raden Ayu Pridobinabar yang tak lain putri Sunan Kudus.

“Setelah menikah, Sultan Hadirin diminta untuk turut menyiarkan agama Islam oleh Sunan Kudus,” ungkap Afroh.

Dari sekian wilayah dipilihlah Desa Loram untuk syiarnya berjuang demi agama. Sultan Hadirin memilih daerah ini karena memiliki lokasi yang strategis, dan dilalui sungai.

“Selain itu, sebelum ada Kota Kudus. Loram pernah dijadikan tempat pertemuan antara Syeh Jafar Sodiq dengan Kyai Telingsing ketika Jafar Sodiq keluar dari wilayah Demak untuk menyebarkan agama ke bagian utara,” paparnya.

Selain meninggalkan bangunan fisik, Sultan Hadirin juga mewariskan sejumlah tradisi dan budaya. Diantaranya Kirab Kemanten dan Sodaqoh Sego Kepel (sedekah nasi kepal).

Kontributor : Fadil AM

Load More