Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Kamis, 20 Mei 2021 | 17:07 WIB
Ketupat Jembut makanan khas Semarang ketika Syawalan (suara.com/DafiYusuf)

SuaraJawaTengah.id - Tradisi Syawalan di Kota Semarang mendadak ramai diperbincangkan di media sosial (medsos).

Adalah kuliner unik yang dinamai ketupat jembut membuat warganet penasaran, bahkan masyarakat yang tinggal di Kota Atlas.

Tradisi membagikan ketupat jembut merupakan budaya khas yang ada di Kelurahan Pedurungan Tengah, Kota Semarang. Jika mendengar namanya, tentu saja banyak orang yang penasaran.

Meski terdengar aneh, namun tradisi kupat jembut memiliki sejarah yang cukup panjang. Bahkan juga memiliki akar tradisi yang kuat.

Baca Juga: 10 Tempat Wisata Semarang: Setiya Aji Flower Farm hingga Bukit VW

Salah seorang sesepuh kampung yang bernama Juwarti menjelaskan betapa panjang sejarah kupat jembut di kampungnya. Dia adalah generasi paling lama di kampung tersebut dan tidak ada lagi kawan seangkatan yang tersisa.

“Tradisi ini sudah ada sejak saya kecil,” ujr Juwarti, dilansir AyoSemarang.com--jaringan Suara.com, Kamis (20/5/2021).

Juwarti memaparkan, kupat jembut kurang lebih seperti kupat biasa yang di tengahnya dimasuki sayur-sayuran yang diurap dengan kelapa parut. Selain kupat jembut, ada juga yang menyebut dengan “kupat sumpel”

Tradisi ini sempat berganti-ganti konsep. Awalnya hanya dibagikan di masjid dan dimakan bersama-sama.

Namun lambat laun, karena anak-anak semakin banyak, dilaksanakan dengan cara berderet di sepanjang kampung seraya membagikan uang.

Baca Juga: Gara-gara Ini, Warga Tambaklorok Tagih Wali Kota Semarang, Apa Itu?

”Inti dari prosesi kupat jembut adalah untuk mengucap syukur dan menolak bala,” tambahnya.

Selain di Pedurungan Tengah, tradisi bagi-bagi kupat jembut juga dilakukan di Jaten Cilik yang masih satu kecamatan dengan Pedurungan Tengah. Di sini ada Munawir yang tahu lebih dalam mengenai asal-usul Kupat Jembut.

“Kupat ini sudah ada sejak tahun 1950,” terangnya.

Jadi ceritanya di tahun itu ada seorang warga yang pulang kampung akibat perang dunia ke 2. Saat itu warga masih hidup dalam kesederhanaan. Tidak ada bahan baku lain selain tauge, kelapa dan lombok.

Namun setelah bulan ramadan warga ingin melakukan syukuran. Akhirnya karena yang ada hanya bahan baku tadi, terciptalah kupat jembut.

“Kalau dibuat kupat jembut kan langsung bisa dimakan tanpa membutuhkan banyak lauk pauk lainnya,” tambahnya.

Tradisi ini terus dilakukan secara turun temurun. Pada tahun-tahun tertentu karena berbagai gejolak politik di Indonesia, mungkin sempat berhenti, namun setelahnya tetap diadakan.

Terkait penyebutan jembut, hal ini sebetulnya hanya spontanitas warga. Sebab memang dari bentuk mirip seperti organ kelamin perempuan. Tapi kendati demikian, bukan berarti sebutan itu dimaksudkan untuk pemaknaan yang jorok.

Load More