Ditambah pada tahun 1975-1976 Sartono sempat menjadi asisten pelatih Timnas Indonesia Wiel "the Albert Einstein of Football" Coerver dalam Diklat PSSI di Salatiga.
“Tugas pelatih hanya menunjukan jalan. Semua eksekusinya tergantung pada pemain yang di lapangan,” jelasnya.
Saat melakoni laga final di Stadion Utama Senayan, PSIS termasuk tim yang tidak diunggulkan. Terlebih lawan yang dihadapi adalah Persebaya Surabaya.
Saat itu PSIS diperkuat pemain senior macam kiper FX Tjahyono, Surajab, Rohadi, dan Syaiful Amri. Kemudian ada juga Ahmad Muhariah, Budi Wahyono, dan Adibar Sudaryanto.
Namun di lapangan kenyataan berbeda. PSIS mampu unggul setelah Syaiful Amri pada menit ke-77 mampu menjebol gawang kiper Persebaya yang dijaga Putu Yasa.
Dari Feeling
Sartono menunjuk Adibar Sudaryanto sebagai kapten di partai puncak. Sudaryanto memiliki keistimewaan dalam prosesi bola mati. Saat itu, Sudaryanto dijuluki Ronald Koeman-nya Indonesia.
Disinggung penunjukkan Sudaryanto sebagai kapten, Sartono hanya tertawa lebar. Sudaryanto pun hingga kini masih bingung kenapa seorang Sartono menunjuk dirinya sebagai kapten di partai genting saat mengukir sejarah tinta emas sepak bola Semarang.
Menurut Sartono, tidak ada yang istimewa dari penunjukan Sudaryanto sebagai kapten tim yang akhirnya menjadi juara.
Baca Juga: Kompetisi Bergulir, Bos PSIS Semarang: Bisa Bangkitkan Industri Sepakbola
“Yo rak enek alasan khusus, feelingku Dar kui dadi kapten. (Ya tidak ada alasan khusus, feeling saya Dar itu jadi kapten). Ya karena Daryanto lebih dewasa dibanding pemain lainnya saat itu,”ungkap Sartono.
Permainan PSIS pasca-juara dipuji banyak pihak. Selain Sumohadi Marsis tadi, Sartono membeberkan bahwa Ketua PS Jayakarta Hoetta Swet menilai jika permainan Timnas Indonesia harus seperti PSIS.
Mahesa Jenar memang pada tahun itu menunjukan performa yang ciamik. Sartono Anwar menerapkan sepak bola modernnya untuk permainan PSIS.
“Saya pakai permainan pendek merapat. Kalau dulu kan kiblatnya total football kayak Inggris namun saya mengubahnya,” jelasnya.
Satu yang juga menjadi identitas PSIS kala itu adalah julukan “Jago Becek”. Sebab PSIS dinilai selalu bermain garang saat menemui lapangan becek. Namun Sartono menampik hal itu.
“Itu hanya julukan yang dihidupkan oleh media semenjak kami membalikan keadaan ketika bertandang di PSM Ujung Pandang (sekarang PSM Makassar),” ucapnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Ban Motor Anti Slip dan Tidak Cepat Botak, Cocok Buat Ojol
- 5 Mobil Bekas Senyaman Karimun Budget Rp60 Jutaan untuk Anak Kuliah
- Jordi Cruyff Sudah Tinggalkan Indonesia, Tinggal Tandatangan Kontrak dengan Ajax
- 5 Shio yang Diprediksi Paling Beruntung di Tahun 2026, Ada Naga dan Anjing!
- 5 Sabun Cuci Muka Wardah untuk Usia 50-an, Bikin Kulit Sehat dan Awet Muda
Pilihan
-
6 Rekomendasi HP Rp 3 Jutaan Terbaik Desember 2025, Siap Gaming Berat Tanpa Ngelag
-
Listrik Aceh, Sumut, Sumbar Dipulihkan Bertahap Usai Banjir dan Longsor: Berikut Progresnya!
-
Google Munculkan Peringatan saat Pencarian Bencana Banjir dan Longsor
-
Google Year in Search 2025: Dari Budaya Timur hingga AI, Purbaya dan Ahmad Sahroni Ikut Jadi Sorotan
-
Seberapa Kaya Haji Halim? Crazy Rich dengan Kerajaan Kekayaan tapi Didakwa Rp127 Miliar
Terkini
-
SIG Dukung Batam Jadi Percontohan Pengembangan Fondasi Mobilitas & Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan
-
Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Tengah Kirim 29 AMT untuk Pemulihan Suplai di Sumatera
-
4 Link Saldo DANA Kaget Jumat Berkah: Raih Kesempatan Rp129 Ribu!
-
Skandal PSSI Jateng Memanas: Johar Lin Eng Diduga Jadi 'Sutradara' Safari Politik Khairul Anwar
-
8 Tempat Camping di Magelang untuk Wisata Akhir Pekan Syahdu Anti Bising Kota