Budi Arista Romadhoni
Selasa, 08 Juni 2021 | 14:47 WIB
Sartono Anwar, pelatih PSIS Semarang saat membawa juara 1987. [Ayosemarang/Audrian Firhannusa]

Ditambah pada tahun 1975-1976 Sartono sempat menjadi asisten pelatih Timnas Indonesia Wiel "the Albert Einstein of Football" Coerver dalam Diklat PSSI di Salatiga.

“Tugas pelatih hanya menunjukan jalan. Semua eksekusinya tergantung pada pemain yang di lapangan,” jelasnya.

Saat melakoni laga final di Stadion Utama Senayan, PSIS termasuk tim yang tidak diunggulkan. Terlebih lawan yang dihadapi adalah Persebaya Surabaya.

Saat itu PSIS diperkuat pemain senior macam kiper FX Tjahyono, Surajab, Rohadi, dan Syaiful Amri. Kemudian ada juga Ahmad Muhariah, Budi Wahyono, dan Adibar Sudaryanto.

Namun di lapangan kenyataan berbeda. PSIS mampu unggul setelah Syaiful Amri pada menit ke-77 mampu menjebol gawang kiper Persebaya yang dijaga Putu Yasa.

Dari Feeling

Sartono menunjuk Adibar Sudaryanto sebagai kapten di partai puncak. Sudaryanto memiliki keistimewaan dalam prosesi bola mati. Saat itu, Sudaryanto dijuluki Ronald Koeman-nya Indonesia.

Disinggung penunjukkan Sudaryanto sebagai kapten, Sartono hanya tertawa lebar. Sudaryanto pun hingga kini masih bingung kenapa seorang Sartono menunjuk dirinya sebagai kapten di partai genting saat mengukir sejarah tinta emas sepak bola Semarang.

Menurut Sartono, tidak ada yang istimewa dari penunjukan Sudaryanto sebagai kapten tim yang akhirnya menjadi juara.

Baca Juga: Kompetisi Bergulir, Bos PSIS Semarang: Bisa Bangkitkan Industri Sepakbola

“Yo rak enek alasan khusus, feelingku Dar kui dadi kapten. (Ya tidak ada alasan khusus, feeling saya Dar itu jadi kapten). Ya karena Daryanto lebih dewasa dibanding pemain lainnya saat itu,”ungkap Sartono.

Permainan PSIS pasca-juara dipuji banyak pihak. Selain Sumohadi Marsis tadi, Sartono membeberkan bahwa Ketua PS Jayakarta Hoetta Swet menilai jika permainan Timnas Indonesia harus seperti PSIS.

Mahesa Jenar memang pada tahun itu menunjukan performa yang ciamik. Sartono Anwar menerapkan sepak bola modernnya untuk permainan PSIS.

“Saya pakai permainan pendek merapat. Kalau dulu kan kiblatnya total football kayak Inggris namun saya mengubahnya,” jelasnya.

Satu yang juga menjadi identitas PSIS kala itu adalah julukan “Jago Becek”. Sebab PSIS dinilai selalu bermain garang saat menemui lapangan becek. Namun Sartono menampik hal itu.

“Itu hanya julukan yang dihidupkan oleh media semenjak kami membalikan keadaan ketika bertandang di PSM Ujung Pandang (sekarang PSM Makassar),” ucapnya.

Load More