Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Selasa, 08 Juni 2021 | 14:47 WIB
Sartono Anwar, pelatih PSIS Semarang saat membawa juara 1987. [Ayosemarang/Audrian Firhannusa]

Dari Feeling

Sartono menunjuk Adibar Sudaryanto sebagai kapten di partai puncak. Sudaryanto memiliki keistimewaan dalam prosesi bola mati. Saat itu, Sudaryanto dijuluki Ronald Koeman-nya Indonesia.

Disinggung penunjukkan Sudaryanto sebagai kapten, Sartono hanya tertawa lebar. Sudaryanto pun hingga kini masih bingung kenapa seorang Sartono menunjuk dirinya sebagai kapten di partai genting saat mengukir sejarah tinta emas sepak bola Semarang.

Menurut Sartono, tidak ada yang istimewa dari penunjukan Sudaryanto sebagai kapten tim yang akhirnya menjadi juara.

Baca Juga: Kompetisi Bergulir, Bos PSIS Semarang: Bisa Bangkitkan Industri Sepakbola

“Yo rak enek alasan khusus, feelingku Dar kui dadi kapten. (Ya tidak ada alasan khusus, feeling saya Dar itu jadi kapten). Ya karena Daryanto lebih dewasa dibanding pemain lainnya saat itu,”ungkap Sartono.

Permainan PSIS pasca-juara dipuji banyak pihak. Selain Sumohadi Marsis tadi, Sartono membeberkan bahwa Ketua PS Jayakarta Hoetta Swet menilai jika permainan Timnas Indonesia harus seperti PSIS.

Mahesa Jenar memang pada tahun itu menunjukan performa yang ciamik. Sartono Anwar menerapkan sepak bola modernnya untuk permainan PSIS.

“Saya pakai permainan pendek merapat. Kalau dulu kan kiblatnya total football kayak Inggris namun saya mengubahnya,” jelasnya.

Satu yang juga menjadi identitas PSIS kala itu adalah julukan “Jago Becek”. Sebab PSIS dinilai selalu bermain garang saat menemui lapangan becek. Namun Sartono menampik hal itu.

Baca Juga: Datang Telat, Pemain PSIS Dapat Porsi Latihan Tambahan dari Dragan Djukanovic

“Itu hanya julukan yang dihidupkan oleh media semenjak kami membalikan keadaan ketika bertandang di PSM Ujung Pandang (sekarang PSM Makassar),” ucapnya.

Load More