Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Senin, 13 September 2021 | 16:10 WIB
Rumah peninggalan Syekh As Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Al Hasani di Kompleks Pondok Pesantren Al Kahfi Somalangu, Kebumen. [Suara.com/ Angga Haksoro Ardi]

SuaraJawaTengah.id - Hidayat Aji Pambudi masih ingat betul pertemuannya dengan Kiyai Thohir, guru ngaji di Kampung Laut, Nusakambangan. Sisa-sisa pelarian Angkatan Oemat Islam (AOI) Somalangu.

Kepada Hidayat Aji, semula Kiyai Thohir hanya mengaku berasal dari Kebumen. Merasa nyaman karena berasal dari daerah yang sama, perbincangan kemudian berlanjut akrab.

“Cerita-cerita katanya orang Kebumen. Dia itu ternyata mantan Laskar AOI. Sampai kemudian nggak berani pulang karena masih merasa sebagai orang yang dikejar-kejar pemerintah,” kata Hidayat Aji saat ditemui di SMK Ma’arif 3 Somalangu, 7 September lalu.

Hidayat Aji sudah 18 tahun menjadi Kepala Sekolah SMK Ma’arif 3 Somalangu. Sekolah ini berada dalam kompleks Pondok Pesantren Al Kahfi Somalangu, salah satu pesatren tertua di Asia Tenggara.

Baca Juga: Positif Covid, Sejumlah Calon Penumpang Tetap Ingin ke Bandara Ahmad Yani

Pondok Pesantren Somalangu memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pimpinan Pondok Pesantren Somalangu, Syekh As Sayid Mahfudz bin Abrurrahman Al Hasani, sekaligus Pemimpin Umum Angkatan Oemat Islam (AOI).

Pengukuhan Syekh Mahfudz sebagai Pemimpin AOI terjadi pada 11 September 1945. Syekh Mahfudz menerima amanah ini dengan catatan setelah perjuangan selesai akan kembali ke lingkungan pondok dan menolak ikut dalam birokrasi kenegaraan.

Sebagai ulama kharismatik, Syekh Mahfudz dengan segera menarik simpati ribuan rakyat Prembun, Kutowinangun, Petanahan, Aliyan, dan Karanggayam untuk bergabung.

Data kasar menyebutkan, jumlah Laskar AOI saat itu mencapai 10 ribu orang. Ditambah sekitar 30 ribu pendukung yang sewaktu-waktu siap digerakkan sebagai pasukan cadangan.

Pengaruh Syekh Mahfudz dan AOI bahkan meluas hingga Kabupaten Banyumas, Kutoarjo (Kabupaten Purworejo), dan Wonosobo. Mayoritas laskar dan simpatisan AOI adalah para santri dan petani.

Baca Juga: Disebut Turut Menikmati Fee Proyek, Hakim Intruksikan Periksa 25 DPRD Muara Enim

Pada 1 Januari 1947, pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) melebur Laskar AOI dan Laskar Hizbullah (pasukan Surengpati) dalam satuan teritorial Batalyon Lemah Lanang (LL).

Pada agresi Militer Belanda II, Batalyon Lemah Lanang mempertahankan front Timur Kali Kemit mulai daerah Karanganyar hingga Petanahan.

Mereka berhasil menghambat laju militer Belanda menyerang Ibu Kota sementara Republik Indonesia di Yogyakarta (doorstot naar Djokdja), pada 18 Desember 1948.

Meski akhirnya berhasil menerobos pertahanan Batalyon Lemah Lanang, Belanda kehilangan banyak personel di medan pertempuran sepanjang Bandung Sruni, Kewajan, hingga Wonosari.

Bumi Hangus Somalangu

Sejak awal pembentukannya, Batalyon Lemah Lanang kerap bergesekan dengan tentara reguler Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Batalyon Lemah Lanang “setengah hati” menerima peleburan laskar dalam pasukan reguler APRIS.

Selain berasal dari kultur masyarakat yang berbeda (mayoritas laskar adalah santri dan petani), penggabungan pasukan sesuai kebijakan Rekonstruksi dan Rekonsiliasi (Re-Ra) angkatan perang, berpotensi memangkas jumlah laskar secara besar-besaran.

Anggota laskar yang tidak pernah mengenyam pendidikan militer baik PETA maupun KNIL, terancam dibuang keluar struktur ketentaraan RIS.

Insiden pemicu konflik terjadi pada akhir Juli 1950. Salah seorang anggota AOI asal Somalangu (dalam sejumlah tulisan disebut bernama Khurmen), tewas dipukuli tentara APRIS yang sedang berpatroli.

Khurmen yang kedapatan membawa senjata api ditangkap polisi militer APRIS di dekat Stasiun Kebumen. Saat itu tentara sedang gencar menertibkan laskar bersenjata.

Insiden tersebut memicu aksi balasan pada 31 Juli 1950. Pemuda AOI balik memukuli salah seorang tentara APRIS hingga tewas.

Sore harinya, Kolonel Sarbini memerintahkan Syekh Mahfudz menghadap ke Markas APRIS di Magelang. Syekh Mahfudz tidak dapat memenuhi panggilan dan berjanji akan melapor keesokan harinya.

Betapa terkejutnya Syekh Mahfudz mengetahui pada pagi hari, tanggal 1 Agustus, Somalangu sudah dikepung tentara APRIS di bawah pimpinan Letkol Ahmad Yani.

Letkol Ahmad Yani yang memimpin pasukan bersandi “Kuda Putih” menyerbu Somalangu dan memerintahkan Syekh Mahfudz menyerah.

“Saat penyerangan, di sini bumi hangus. Semua habis. Para laskar itu tunggang langgang. Mereka tidak mau tinggal disini karena takut ditangkap, diciduk, diteror dan lain sebagainya,” kata Hidayat Aji Pambudi.

Dalam buku Kuntowijoyo “Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi” pertempuran Laskar AOI dan tentara APRIS berlangsung 40 hari.

Sekitar 85 rumah di Somalangu rusak atau dibakar. Beruntung masjid di kompleks Pondok Pesantren Somalangu terhindar dari kerusakan. Jumlah korban diperkirakan mencapai 1.500 hingga 2 ribu jiwa.

Sumpah Syekh Mahfudz

Setelah pertahanan Angkatan Omat Islam di Gunung Pager Kodok dijebol APRIS, pasukan mundur ke arah barat menuju Cilacap. Pertempuran besar meletus di daerah Panjer, Kecamatan Kebumen.

Saking sengitnya serangan pasukan APRIS, konon di lokasi yang saat ini berdiri kantor Polres Kebumen, Syekh Mahfudz Somalangu sempat mengutuk Ahmad Yani yang bakal tewas menyedihkan.

Di kemudian hari, saat peristiwa G30S/PKI meletus, Ahmad Yani termasuk salah satu perwira tinggi ABRI yang menjadi korban penculikan dan pembunuhan. Jenazah Ahmad Yani dimasukkan dalam sumur di kawasan Lubang Buaya.

Menurut pengakuan tim evakuasi di Lubang Buaya, prajurit Marinir Pelda (Purn) Sugimin dan Pelda (Purn) Evert Julius Ven Kandou, kondisi jenazah Ahmad Yani paling mengenaskan.

Ahmad Yani ditemukan dengan luka sayatan di leher hingga nyaris putus. Tali yang digunakan mengangkat Ahmad Yani juga sempat putus, sehingga jenazahnya yang sudah hampir ditarik keluar kembali jatuh ke dalam sumur.

Meski pandangan masyarakat soal sejarah Angkatan Oemat Islam (AOI) mulai terbuka, stigma mereka terlibat pemberontakan DI/TII masih melekat hingga sekitar tahun 1980an.

Terlebih buku-buku sejarah di sekolah seolah melegitimasi tuduhan bahwa AOI berafiliasi dengan pasukan DI/TII di Jawa Tengah pimpinan Amir Fatah.

Sekitar tahun 2000, penelitian pelurusan sejarah AOI mulai banyak dilakukan. Diskusi membahas apakah benar Angkatan Oemat Islam terkait DI/TII, tidak lagi tabu untuk digelar.

Tapi apakah luka sejarah benar-benar sudah pulih? Banyak pengikut setia Syekh Mahfudz yang ikut lari ke Cilacap, menghabiskan sisa hidup dalam persembunyian.

Kiyai Thohir, guru mengaji di sebuah langgar kecil di Kampung Laut, Nusakambangan salah satunya. Hingga meninggal, Kiyai Thohir menutupi identitasnya sebagai mantan Angkatan Oemat Islam (AOI) Somalangu.

“Syekh Mahfudz punya potensi besar. Mungkin kalau tidak ‘dimatikan’ beliau bisa seperti jenderal-jenderal yang lain.”

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

Load More