Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Sabtu, 27 November 2021 | 15:24 WIB
Rekonstruksi kasus dugaan pembunuhan oleh dukun IS di Markas Polres Magelang. [Suara.com/ Angga Haksoro Ardi]

SuaraJawaTengah.id - Gerimis baru saja turun saat pria berpawakan kurus digiring keluar dari ruang tahanan. Berpeci coklat, mengenakan seragam oranye bernomor 14, tersangka IS diapit dua polisi bersenjata dari Polres Magelang.

Lelaki kecil kurus ini diduga menghabisi 4 nyawa korbannya dengan keji. Dua korban dibunuh pada 14 Mei dan 4 Desember 2020, serta 2 lainnya pada 10 November 2021.

Sehari-hari, pria berusia 57 tahun ini dikenal sebagai “orang pinter” di kampungnya. Di Dusun Karangtengah, Desa Sutopati, Kecamatan Kajoran, Magelang, IS membuka praktik pengobatan alternatif.

“Terkait menjadi salah satu ‘orang pinter’ itu mungkin sebatas karena sering dimintai pengobatan alternatif,” kata Kepala Desa Sutopati, Slamet Nursidi saat dijumpai di kantornya, 23 November 2021.

Baca Juga: Aksi Keji Kasus Dukun Pengganda Uang di Magelang Diduga Pembunuhan Berantai

Tidak banyak yang tahu selain mengobati orang, dukun IS juga menerima jasa melancarkan usaha dan menggandakan uang. Kepada pasiennya, IS menjanjikan uang yang telah ia jampi jumlahnya dapat berlipat ganda.

Janji itu disampaikannya kepada korban Lasman dan Wardiyanto, warga Dusun Marongan, Desa Sutopati, Kajoran. Tersangka menjanjikan uang Rp 25 juta yang diberikan para korban tidak akan habis jika dibelanjakan.

Agar hajat itu terkabul, IS mensyaratkan kedua saudara ipar itu meminum air yang telah dijampi. Syarat lainnya, air wajib diminum sebelum mereka tiba di rumah dan tidak boleh terlihat orang.

Dalam perjalanan pulang, di tepi jalan Dusun Wonoyoso, Lasman dan Wardiyanto meregang nyawa. Air yang diserahkan IS ternyata sudah dicampur potas yang mengandung racun mematikan sianida.

Polisi langsung mencokok IS begitu mengetahui kedua korban tewas tidak lama setelah bertamu ke rumah sang dukun. Tidak berhenti di situ, Polres Magelang yang menangani kasus dugaan pembunuhan Lasman dan Wardiyanto mengendus adanya korban lain.

Baca Juga: Bertambah Lagi! Korban Dukun Pengganda Uang di Magelang Jadi 4 Orang

Belakangan IS mengakui selama tahun 2020 telah membunuh Muarif warga Dusun Karanganyar, Desa Sutopati, dan Suroto warga Moyudan, Sleman, Yogyakarta.

Jalan Pintas Praktik Dukun

Menurut teori Dosen Sosiologi Komunikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Ratri Kusumaningtyas, M. Si, pranata sosial gagal mengakomodir kebutuhan masyarakat terutama golongan masyarakat bawah.

Akhirnya satu-satunya jalan yang memungkinkan dan dipercaya masyarakat menjadi sulusi tercepat menyelesaikan masalah: pergi ke dukun.

Menurut pandangan kebanyakan masyarakat -kebanyakan- Jawa, dukun adalah sosok yang mampu menjembatani manusia dengan entitas yang lebih tinggi atau kuat.

“Dukun adalah pelaku spiritual. Penolong bahkan konsultan yang siap membantu masyarakat. Sehingga masyarakat sering datang ke dukun untuk mendapatkan solusi,” kata Ratri.

SuaraJawaTengah.id sempat mendatangi rumah kerabat korban Muarif di Desa Sutopati, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang. Tembok rumahnya berhimpitan dengan rumah tetangga lain.   

Di muka rumah, terparkir motor diantara banyaknya kotoran dan kandang ayam. Motor kelihatanya biasa digunakan untuk mencari rumput pakan ternak atau mengangkut hasil panen dari ladang.

Berkali-kali ketukan kami di pintu tak kunjung mendapat sambutan. Padahal suara televisi terdengar dari dalam ruangan.

Menurut pengakuan tersangka IS, uang yang diambil dari Muarif sebesar Rp 3 juta. Namun versi keluarga Muarif seperti diceritakan Kades Sutopati, Slamet Nursidi, korban tewas setelah baru saja mendapat arisan.

Uang arisan belum sempat diserahkan atau ditunjukkan kepada keluarga. Diperkirakan uang yang hilang dari saku korban sekitar Rp 17 juta.  

“Ada perubahan sosial di berbagai aspek. Bisa juga perubahan yang cepat di bidang politik, ekonomi, dan sebagainya. Melihat situasi sekarang ini masyarakat jelas banyak yang terdampak ekonomi dengan adanya pandemi,” kata Ratri.

Dugaan Psikologis Minyampang

Dosen Hukum dan Kriminologi Universitas Tidar (Untidar), Triantono SH, MH mengatakan, sekilas tidak ada yang aneh dalam kasus pembunuhan dukun IS.

Motif pembunuhan seperti diungkapkan polisi, didorong oleh alasan ekonomi ingin menguasai uang milik korban. Semua korban dukun IS menyerahkan uang antara Rp 3 juta hingga Rp 25 juta sebelum dibunuh.     

Menurut Triantono, praktik perdukunan didukung oleh kepercayaan masyarakat yang masih meyakini hal-hal klenik sebagai jalan keluar mengatasi persoalan hidup.

“Untuk kasus di Kajoran itu, pertama tidak ada yang aneh. Ada faktor-faktor yang mendorong seperti ekonomi dan ada demand (permintaan) di masyarakat soal kebutuhan pengobatan alternatif,” kata Triantono.

Di luar motif pembunuhan, Triantono justru tertarik menyoroti gestur (bahasa tubuh) tersangka IS yang seolah tidak menunjukan rasa cemas atau khawatir menghadapi kasus besar.

Padahal ancaman hukuman yang bakal menjeratnya tidak main-main. Jika terbukti bersalah, IS terancam hukuman maksimal hukuman mati atau penjara seumur hidup.   

“Gestur penyesalan itu tidak nampak. Bahkan pada satu potongan video di TV, dia (IS) pakai sarung kemudian penyidiknya ditunjuk ‘ini rumah saya’. Sangat free dia ngomongnya. Seperti tidak ada beban apapun,” kata Triantono.

Menurut Triantono, dalam konteks kriminologi tindak kejahatan dilatari dua faktor: eksternal dan internal.

Faktor internal berupa aspek biologis dan kepribadian. Sedangkan eksternal bisa dipengaruhi lingkungan, masyarakat, dan keluarga.

Dugaan pertama mengapa IS begitu kalem menghadapi perkara ini karena dia tahu betul konsekuensi dari perbuatannya.

“Kedua, teori prilaku yang dihasilkan dari pembiasaan. Apa waktu dia masih kecil, saat masa tumbuh kembang, biasa dihadapkan pada situasi seperti itu? Dihadapkan pada situasi kepanikan, erat dengan kekejaman, kekerasan. Sehingga orang itu menjadi sangat terbiasa dengan situasi tersebut.”

Menurut Triantono setiap manusia memiliki bibit untuk melakukan kejahatan. Apakah bibit itu dominan atau tidak, tergantung pola pengasuhan pada masa kecil dan interaksi dengan lingkungan.

Kebiasaan akrab dengan pola-pola kekerasan sejak kecil dapat mengarah pada prilaku menyimpang atau tindak kejahatan. Dalam kasus IS, menjadi penting untuk memahami profil psikologi tersangka.

Hal lain yang menjadi perhatian Triantono adalah metode yang dipilih IS untuk mengeksekusi para korban terbilang canggih.

“Saya amati dari modus operandinya menurut saya untuk orang awam, petani, menurut saya canggih. Dia suruh orang yang datang (korban) untuk membawa air dan diminum sebelum sampai rumah di tempat yang sepi. Itu kan canggih.”

Tersangka memperhitungkan jika korban tewas di rumahnya, risiko kejahatannya terbongkar akan lebih besar.

Patut diduga tersangka juga mempertimbangkan membunuh korban memanfaatkan situasi pandemi. Sebab korban Muarif yang dibunuh pada Mei 2020, sempat dikira meninggal Covid.

Muarif yang ditemukan meninggal mendadak, dikubur secara prokes pemakaman Covid. Jenazah tidak sempat di-autopsi sehingga tidak diketahui penyebab kematian sebenarnya.

“Kemampuan mendesain kejahatan ini, tidak semua orang bisa. Sejahat-jahatnya orang kalau tidak terbiasa melakukan (kejahatan), pada posisi tertentu kagok,” ujar Triantono.

Penjara dan Terapi Sosial

Meski demikian, menurut Triantono terlalu dini menyimpulkan kejahatan yang dilakukan tersangka IS mengarah pada tindakan psikopat. Hal penting yang harusnya dilakukan saat ini adalah menyelidiki profil psikis tersangka.    

“Saya tidak berani mengatakan sejauh itu (psikopat). Masih terlalu dini. Perlu untuk dipelajari jangan-jangan masih ada korban lain. Jadi tidak diketahui pada waktu terdekat, tapi mungkin dilakukan sebelumnya.”

Menyelidiki profil psikis tersangka juga dapat menjadi dasar mengambil langkah hukum selanjutnya. Sebab untuk kasus pelaku kejahatan dengan ganguan psikis, hukuman penjara saja kadang tidak cukup.

Kurungan penjara tidak cukup mengubah prilaku psikologis tersangka yang menyimpang. Tanpa penanganan psikis, pelaku kriminal berpotensi mengulang kejahatan setelah keluar dari bui.

“Ini menjadi penting karena mereka yang mengalami psikologis kekerasan masa kecil, butuh perhatian publik. Mereka bukan orang yang aman. Dalam arti butuh semacam treatment yang pas di masyarakat,” pungkas Triantono.

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

Load More