Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 25 Februari 2022 | 10:02 WIB
Kedelai impor dari Amerika yang selama ini mendominasi pasaran. Padahal, kualitas kedelai dari Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, juga bersaing. [ANTARA/Akhmad Nazaruddin Lathif.]

SuaraJawaTengah.id - Mahalnya kedelai impor menjadi perhatian banyak pihak. Sebab ukuran tahu dan tempe yang menjadi makanan favorit masayarakat menjadi semakin kecil. 

Selain itu, perajin tahu dan tempe juga sempat mogok produksi. Hal itu untuk mengkritisi mahalnya kedelai yang diimpor dari Amerika Serikat. 

Lalu bagaimana sebenarnya kualitas kedelai lokal?

Kualitas kedelai yang dihasilkan petani di Kabupaten Grobogan, sebenarnya bisa bersaing dengan kedelai impor, hanya saja luas areal tanaman komoditas tersebut belum mampu memenuhi permintaan pasar.

Baca Juga: Rapor Buruk Pangadaan Bahan Pangan, Setelah Minyak Goreng Kini Kedelai Impor Mahal

"Mayoritas petani bersedia menanam tanaman kedelai ketika harga jualnya tinggi seperti sekarang ini, sehingga banyak petani yang berminat menanam karena luas areal tanamnya saat ini mencapai 1.100 hektare atau lebih luas dibandingkan sebelumnya," kata Pelaksana tugas Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Grobogan Sunanto dikutip dari ANTARA di Grobogan, Kamis (25/2/2022).

Ia mencatat selama beberapa tahun terakhir ada kenaikan luas areal tanam tanaman kedelai. Jika pada tahun 2019 tercatat hanya 6.000 hektare, kemudian pada tahun 2021 luasnya melonjak menjadi 15.000 hektare.

Selain itu, kata dia, kualitas kedelai dari Grobogan juga bersaing dengan kedelai impor. Setiap 100 biji kedelai impor bobotnya hanya 16 gram, sedangkan kedelai asal Grobogan dengan jumlah yang sama bobotnya mencapai 18 gram.

Ia mengakui ada beberapa daerah yang petaninya memang fokus menanam tanaman kedelai, di antaranya tersebar di beberapa desa di Kecamatan Pulokulon. Baik musim tanam pertama maupun kedua dan ketiga, petani setempat tetap menanam tanaman kedelai. Sementara luas lahan di Kecamatan Pulokulon yang berpotensi ditanami komoditas kedelai mencapai 2.000 hektare.

Sementara itu petani di wilayah lainnya baru menanam kedelai ketika harga jualnya tinggi, sehingga wajar penanaman kedelai terkadang menurun karena kalah bersaing dengan komoditas tanaman pangan lain ketika harga kedelai tidak menarik bagi petani, meskipun banyak daerah yang menunggu pasokan kedelai dari Grobogan.

Baca Juga: Waduh! Gara-gara Harga Kedelai Impor Naik, Perajin Tahu di Banjarnegara Terpaksa Kurangi Karyawan

Upaya pemerintah memberikan dukungan terhadap petani kedelai, katanya, cukup besar, mulai dari benih unggul hingga bantuan pupuk. Benih kedelai saat ini juga sudah berbeda dengan benih sebelumnya karena dari sisi ukuran juga lebih besar dibandingkan kedelai impor, sehingga bisa menghasilkan sari yang lebih banyak.

Dalam rangka memenuhi permintaan pasar yang masih cukup tinggi, sejak tahun 2010 diterapkan sistem "methuk" (jawa) atau jemput yang merupakan teknologi pengembangan kedelai yang diadopsi dari kearifan lokal petani di Grobogan.

Sistem "methuk" merupakan pengembangan kedelai yang disinergikan dengan pengembangan jagung melalui model tanam tumpang gilir antara tanaman jagung dan kedelai. Sistem ini tidak mengurangi tanaman jagung petani, bahkan bisa menambah penghasilan petani karena populasi tanaman keduanya masih tetap sama.

Penanaman kedelai dilakukan saat jagung berumur 80-90 hari, sehingga ketika jagung panen tanaman kedelai sudah berumur sekitar satu bulan. Selang 45 hari kemudian kedelai bisa dipanen.

Dengan cara tanam sistem tersebut, juga meningkatkan kesuburan tanah karena tanaman kedelai akan meningkatkan bakteri rhizobium di dalam tanah, sehingga kandungan Nitrogen (unsur N) akan meningkat sehingga meningkatkan produksi jagung. Sistem "methuk" juga berpotensi menghemat penggunaan pupuk. 

Load More