Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 05 Agustus 2022 | 07:10 WIB
Warga membuka aplikasi media sosial Instagram di Jakarta, Senin (18/7/2022). Kemenkominfo akan memblokir beberapa aplikasi terkait adanya pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) sebagai upaya pemerintah Indonesia untuk melindungi konsumen masyarakat, diantaranya Google, Facebook, Instagram dan WhatsApp. [ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj].

SuaraJawaTengah.id - Dua minggu belakangan istilah blokir-memblokir ramai diperbincangkan, bermula dari aturan terbaru Kementerian Komunikasi dan Informatika yang mewajibkan platform digital untuk mendaftar sebagai penyelenggara sistem elektronik.

Aturan itu menyebutkan perusahaan pemilik platform digital, alias penyelenggara elektronik, yang sudah beroperasi di Indonesia harus mendaftar sampai batas waktu terakhir 20 Juli, jika tidak, mereka akan diberi sanksi, paling berat pemutusan akses.

Kementerian tidak main-main soal sanksi blokir itu, terhitung sejak Sabtu (30/7/2022) lalu, hampir sepuluh layanan asing diputus aksesnya karena tidak kunjung mendaftar.

Alhasil, masyarakat memprotes kebijakan ini karena merasa dirugikan, salah satunya karena uang tidak bisa dicairkan dari PayPal, yang layanannya waktu itu diblokir karena tidak mendaftar.

Baca Juga: LinkAja dan Pertamina Lakukan Sinergi Buat Pembelian BBM Bersubsidi

Ketua Indonesia Cyber Security Forum, Ardi Sutedja, mengatakan dunia digital ibarat hutan belantara, perlu ada aturan, tata kelola.

"Kalau tidak, isinya penuh dengan predator," kata Ardi dikutip dari ANTARA Jumat (5/8/2022).

Ungkapan tersebut sama sekali tidak bermaksud menyebut internet, ruang digital, adalah hal yang negatif dan orang-orang yang terlibat di dalamnya adalah aktor jahat. Perkembangan internet selama 10 tahun terakhir begitu pesat, banyak layanan dan aktivitas baru yang muncul berkat keberadaan teknologi tersebut.

Dampak internet dan teknologi digital paling terasa dua tahun belakangan, kegiatan sehari-hari seperti belajar dan bekerja bisa dilakukan dari jarak jauh memanfaatkan berbagai layanan digital.

Pendaftaran penyelenggara sistem elektronik, yang diatur melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat, perlu dilihat sebagai tata kelola ruang digital Indonesia.

Baca Juga: Jangan Salah! Beda PSE dengan PMSE dan Dampaknya ke Pajak

Menurut Ardi, tata kelola digital harus dilakukan untuk melindungi masyarakat, sebagai pengguna layanan digital, dan mendorong pertumbuhan industri. Jika tidak, dia khawatir tidak ada aturan yang jelas dan ruang digital menjadi kacau.

Diwawancara terpisah, Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) melihat pendaftaran PSE bisa membantu penanganan ketika terjadi masalah di ruang digital, misalnya penipuan, lembaga bisa berkoordinasi dengan platform digital untuk mengatasi masalah tersebut.

Tidak semua pihak sepakat dengan aturan ini, Koalisi Advokasi Permenkominfo 5/2020 secara tegas menolak aturan pendaftaran PSE karena tidak sesuai dengan aturan yang berlaku di Indonesia dan memberikan efek domino kepada masyarakat dan industri.

Melalui keterangan pers terkini, Koalisi, yang beranggotakan SAFEnet, AJI Indonesia dan YLBHI, meminta Presiden Joko Widodo mencabut Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 karena menyalahi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik soal sanksi pemutusan akses.

Pemblokiran akses juga dinilai menimbulkan kerugian bagi masyarakat, seperti tidak bisa menarik uang bagi mereka yang gajinya dibayarkan melalui Paypal dan menghambat industri game dan kreatif Indonesia karena platform game online diblokir. Beberapa pengembang game lokal merilis konten mereka melalui Steam, yang sempat diblokir.

Plus dan minus aturan digital

Pro dan kontra terhadap aturan pendaftaran PSE ini begitu terasa di dunia maya, masyarakat terdampak langsung karena beberapa layanan yang mereka gunakan diblokir.

Beberapa pakar dan aktivis isu digital yang tidak sepakat dengan aturan ini menilai kewajiban pendaftaran PSE mendadak dan terburu-buru.

Ardi, yang juga pelaku industri teknologi finansial dan anggota Dewan Kehormatan dan Etik Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), mengingat pemerintah pernah mengajak PSE berdiskusi soal aturan ini pada 2014.

Melihat ada jeda yang cukup panjang dari diskusi tersebut hingga aturan diterapkan, dia menilai terlambat, tapi, tetap harus dilakukan karena lansekap ruang digital semakin berkembang.

Contohnya, masyarakat kini sudah mengetahui perlindungan data pribadi, maka, ketika menggunakan aplikasi atau mendaftar layanan digital, soal perlindungan data adalah salah satu yang mereka cari atau tanyakan kepada penyedia platform.

Pendaftaran PSE ini dinilai sebagai salah satu instrumen untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan data.

Dalam keterangan terpisah, pakar keamanan siber Alfons Tanujaya menilai pendaftaran PSE adalah langkah awal penegakan kedaulatan digital Indonesia. Regulator seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan bisa terbantu dalam pengelolaan dan pengawasan layanan keuangan, terutama untuk PSE asing.

Pro dan kontra terhadap adalah konsekuensi dari aturan baru.

Meski kebijakan ini dinilai baik untuk tata kelola digital, pakar melihatnya bukan tanpa cela dan masih ada kesempatan untuk diperbaiki. Misalnya, menurut Ardi, komunikasi publik dan sosialisasi aturan ini masih perlu diperbaiki supaya publik paham aturan pendaftaran PSE ini.

Selain itu, kemudahan saat pendaftaran membuat sejumlah pihak yang semestinya tidak mendaftar, jadi ikut mendaftar. Kementerian Kominfo menerapkan prinsip post-audit, yaitu PSE diyakini sudah memberikan data sebenar-benarnya baru kemudian kementerian akan mengevaluasi.

Kominfo akan menghentikan sementara atau mencabut izin sistem elektronik jika tidak sesuai persyaratan.

Sementara Alfons menilai kementerian perlu membenahi sistem pendaftaran PSE sehingga platform yang ingin mendaftar tidak merasa kesulitan.

Aturan pendaftaran PSE ini jelas akan berpengaruh terhadap berbagai industri di Indonesia, termasuk industri teknologi finansial (tekfin) yang akhir-akhir ini tumbuh menggembirakan.

Layanan keuangan adalah salah satu sektor yang memiliki regulasi sangat ketat. Di Indonesia, penyelenggara harus terdaftar ke BI dan OJK, lalu ditambah lagi ke Kominfo sebagai PSE jika mereka memiliki platform digital.

Menurut Ardi, dengan pendaftaran seperti ini, maka semakin jelas bahwa PSE harus memenuhi kewajiban kepada negara, yaitu membayar pajak, dan kewajiban kepada konsumen, yaitu memberi pelayanan yang sesuai standar.

Untuk perlindungan data pribadi, menurut Ardi, setelah pendaftaran, kementerian akan bisa melihat apakah mereka memiliki sertifikasi ISO 27001 untuk manajemen dan keamanan data.

Data Kementerian Kominfo per 3 Agustus menunjukkan ada 9.074 platform (sistem elektronik) domestik yang terdaftar, sementara yang asing berjumlah 293.

Load More