Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Rabu, 02 November 2022 | 11:06 WIB
Ilustrasi konser musik. Tragedi Halloween menjadi balas dendam usai Pandami Covid-19, kerumunan massa menjadi hal yang tak siap dihadapi, keselamtan diabaikan. (Freepik/Drazen Zigic)

SuaraJawaTengah.id - Keramaian massa tak seindah atau seaman dulu yang sepertinya harus dikatakan sekarang ini. Berkeruman dan berdesakan kini bisa menjadi malapetaka.

Tragedi kanjuruhan misalnya, menonton pertandingan bola dengan jumlah penonton yang banyak tentu saja akan memberikan kekhawatiran setiap orang di massa yang akan datang. Keselamatan pun harus menjadi pertimbangan.

Terbaru adalah Tragedi Halloween di Distrik Itaewon, Seoul, Korea Selatan, yang menewaskan lebih dari 150 orang. Hal itu menjadi bukti, mengumpulkan massa usai pandemi Covid-19 belum menjadi hal yang aman dilakukan.

Hingga festival musik Berdendang Bergoyang di Jakarta yang kelebihan kapasitas pun terpaksa dibubarkan. Sebab membuat puluhan penonton pingsan.

Baca Juga: Calon Perawat Ini Tewas dengan Organ Tubuh yang Rusak Parah di Tragedi Itaewon

Peristiwa tersebut menjadi bukti semakin pentingnya manajemen keselamatan massa dalam acara yang mengundang keramaian. Apalagi setelah berbagai kelonggaran diterapkan pada tahun kedua pandemi Covid-19, orang-orang mulai kembali beraktivitas di luar ruang, di tengah kerumunan.

Berbagai acara, seperti konser musisi dalam dan luar negeri juga kembali digelar di Indonesia.

Menyadur dari BBC Indonesia, Pengamat sosial Devie Rahmawati mengatakan antusiasme masyarakat dunia adalah hal yang wajar karena selama ini manusia seakan dikurung dan dibebaskan.

Menurutnya pandemi telah mencabut kemanusiaan manusia yang merupakan makhluk sosial. Ditambah lagi kita adalah masyarakat komunal yang terbangun dari semangat kebersamaan.

Sehingga apa yang dilakukan orang-orang, memadati agenda-agenda publik, adalah hal yang dinilai “wajar” dan “alamiah”.

Baca Juga: Kembali Gelar Latihan, Persib Bandung Siap Kembali Berkompetisi

"Tetapi yang perlu diwaspadai adalah bagaimana mengelola hasrat ‘balas dendam’ ini agar tetap dalam koridor yang aman, nyaman, dan memperhatikan keselamatan," kata Devie pada Senin (31/10/2022).

Namun, kata Devie, para penyelenggara acara tidak boleh memanfaatkan situasi ini untuk meraup untung sebanyak-banyaknya dan mengabaikan keamanan serta keselamatan.

Dia menambahkan, hal itu menjadi tanggung jawab pihak penyelenggara karena berdasarkan psikologi massa: manusia menjadi tidak rasional ketika berada dalam massa, "hanya hanyut dalam perasaan kesenangan, kegembiraan, sehingga tidak bisa berpikir secara jernih".

"Mereka yang harus mempersiapkan skenario-skenario agar kemudian semua orang yang berpartisipasi itu dapat kembali pulang dengan aman," ujar Devie.

Keselamatan lebih utama

Ketua Program Studi Keamanan, Kesehatan, dan Keselamatan Kerja (K3) Universitas Indonesia, Dr Zulkifli Djunaidi, mengatakan, hal yang terjadi di festival musik Berdendang Bergoyang membuktikan bahwa warga Indonesia "belum melek" isu manajemen keselamatan massa.

"Crowd safety management (manajemen keamanan massa) itu belum dipahami, bukan oleh masyarakat saja, tetapi juga oleh penyelenggara, event organizer, dan juga pemerintah sebagai pihak yang berwenang. Stakeholders-nya belum pada aware (sadar) terhadap ini," kata Zulkifli pada Senin (31/10/2022).

Zulkifli menjelaskan manajemen keamanan massa kerap kali “dikesampingkan” ketika target utamanya adalah keuntungan secara ekonomi, dan hal itu yang terjadi di Indonesia.

Dalam kasus festival musik Berdendang Bergoyang, polisi mendalami dugaan pencetakan tiket yang berlebih.

Ada dua hal yang menurut Zulkifli harus dilakukan pihak penyelenggara sebelum menggelar sebuah acara yang akan dibanjiri massa – entah itu festival musik, pertandingan olahraga, atau kampanye politik— yakni pencegahan dan mitigasi.

Penyelenggara acara harus bisa menentukan “besarnya risiko”, yang dihitung dari jumlah orang yang akan datang, dan “keadaan daruratnya”, misalnya kebakaran, bentrokan, atau bahkan bencana alam.

"Baru kita bisa menentukan untuk mencegah hal itu bisa terjadi. Dari sisi fasilitasnya, mengatur kapasitas, misalnya mengatur flow (pergerakan massa), fasilitas-fasilitas untuk evakuasi dan menyelamatkan nyawa, itu siap nggak di tempat berlangsungnya acara-acara tersebut sebelum acaranya dibuka?"

"Saya nggak yakin ada assessment (penilaian) seperti itu,” ujar Zulkifli.

Ketika acara hendak berlangsung dan para pengunjung sudah datang, Zulkifli juga mengatakan, pihak penyelenggara harus memberikan pengenalan dasar-dasar keselamatan.

Beberapa hal yang harus diberitahukan kepada pengunjung adalah jalur evakuasi, lokasi titik kumpul, apa yang harus dilakukan ketika keadaan darurat, petugas-petugas yang bertanggung jawab saat kondisi darurat, dan lokasi pertolongan pertama (tim medis).

Zulkifli menyayangkan ketika prosedur itu benar-benar dilakukan, itu tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh dan dianggap “formalitas”

Selain dari pihak penyelenggara, Zulkifli juga mengimbau para pengunjung, peserta, atau penonton untuk peka terhadap kondisi sekitar, “jangan 100% terhanyut dengan apa yang kita senangi”.

"Ketika kita lihat ada eskalasi-eskalasi yang akan menuju kepada peristiwa-peristiwa yang bersifat bencana atau darurat, pada saat itu kita harus bersikap dan kemudian mengambil keputusan. Ada batas toleransi yang nggak boleh dilalui, ketika mulai ada baku hantam, kita harus segera ambil sikap, mengevakuasi diri sendiri," kata Zulkifli menjelaskan.

Namun, dia juga menyayangkan, ketika massa sudah memiliki kesadaran itu, beberapa penyelenggara justru “tidak paham tentang eskalasi tersebut”, seperti tidak membuka pintu untuk evakuasi, seperti yang terjadi pada tragedi Kanjuruhan.

Load More