Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Rabu, 24 April 2024 | 14:57 WIB
Suasana latihan ketoprak Sanggar Lumaras Budaya di Dusun Petung Kidul, Desa Petung, Pakis, Magelang (Suara.com/ Angga Haksoro).

SuaraJawaTengah.id - Djuli 1965. Tiga kelompok kesenian tradisional berbagi panggung di Alun-alun Utara Yogyakarta.  

Kelompok Wayang Orang Ngesti Pandowo, Ketoprak Siswo Budojo, dan Wayang Orang Tjipto Kawedar, bersaing merebut hati pengunjung pada Pekan Raya Dwi Dasawarsa Kemerdekaan RI.

Tahun-tahun itu masanya nggendero kesenian rakyat. Kelompok wayang orang dan ketoprak tumbuh dan berkembang hingga ke pelosok desa.

Kelompok kesenian tradisional ini punya basis pendukung yang sama-sama besar dan fanatik. Pusat keramaian seperti pasar malam, grebek Suro, maupun pekan raya, menjadi ajang adu gengsi masing-masing kelompok. 

Baca Juga: Benarkah Makanan Olahan Bisa Pengaruhi Menstruasi? Ini Penjelasan Dokter

Pendukung fanatik bahkan sanggup lintas wilayah. Tjipto Kawedar yang aslinya grup wayang orang asal Semarang, punya banyak penggemar di Magelang dan Yogyakarta.

Begitu juga kelompok ketoprak Siswo Budojo yang namanya besar di Tulungagung, Jawa Timur, ditunggu-tunggu ribuan penggemar di Jogja kala itu.       

Aroma persaingan antar kelompok kesenian itu dicatat tabloid Minggu Pagi edisi 18 Djuli 1965, dalam opini berjudul “Nonton WO Tjipto Kawedar Didalam Pekan Raya”.

Penulisnya, Dan Din Kepolisian Daerah Istimewa Jogjakarta, Hartono, yang agaknya penggemar garis keras Wayang Orang Tjipto Kawedar.

Dia menulis dalam nada gelisah. Dengan gusar Hartono menuding panitia peringatan 20 tahun kemerdekaan Indonesia di Alun-alun Utara Yogyakarta, kurang mendukung grup wayang orang kesayangannya.

Baca Juga: Genjot Sport Tourism di Jateng, Pj Gubernur Jateng Launching Specta 2024

Panggung pentas Tjipto Kawedar ditempatkan terpencil di pojok Barat Daya alun-alun yang jauh dari dua pintu masuk utama di Barat dan di Timur.

Load More