Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Kamis, 27 Juni 2024 | 08:12 WIB
Ilustrasi KTP. (Unsplash)

SuaraJawaTengah.id - Penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa masih mendapatkan diskriminasi saat mengurus surat-surat keterangan di Pemerintah Daerah. Hal diungkapkan oleh Program Manager Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Tri Noviana. 

Ia menilai regulasi terkait dengan penghayat kepercayaan kerap mentok di level pemerintah daerah dalam implementasinya.

"Maksudnya, kadang mentok di kabupaten. Di pusat sudah ada, clear, tetapi di tingkat kabupaten atau provinsi terusannya enggak tahu. Apakah diteruskan ke kecamatan atau kelurahan atau tidak?" kata Tri Noviana dikutip dari ANTARA pada Kamis (27/6/2024).

Hal tersebut disampaikannya saat Diskusi Publik: Pemenuhan Hak Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa: Antara Komitmen Negara dan Realitasnya di kampus Universitas 17 Agustus 1945 Semarang.

Baca Juga: Waspada! Alergi Susu Sapi Ancam Tumbuh Kembang Anak

Novi mencontohkan kasus penghayat kepercayaan di Cilacap yang masih dipersulit mengurus data kependudukan, termasuk mengubah kolom agama di kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK) menjadi "penghayat kepercayaan".

"Contoh kasus di Cilacap, tidak semua (pejabat, red.) kecamatan dan kelurahan memahami apa itu penghayat kepercayaan, dan bagaimana sistem administrasi ketika mereka mengajukan KK atau KTP," katanya.

Diakuinya bahwa saat ini apa yang dialami para penghayat kepercayaan memang sudah lebih baik jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2014 mereka masih mengalami diskriminasi yang cukup signifikan.

Meskipun sekarang sudah relatif lebih baik bagi penghayat kepercayaan untuk mendapatkan haknya sebagai warga negara, Novi mengingatkan bahwa masih ada beberapa hal yang perlu dibenahi.

"Teman-teman penghayat kepercayaan mulai mendapatkan pemenuhan haknya sebagai warga negara terkait dengan pendidikan, perkawinan, pemakaman, dan kebijakan cukup banyak melindungi teman-teman seperti putusan MK dan Permendikud," katanya.

Baca Juga: 5 Wisata Air Terjun di Jawa Tengah yang Cocok Dikunjungi Saat Liburan Sekolah

Namun, diakuinya bahwa kondisi yang dialami penghayat kepercayaan di masing-masing daerah berbeda. Misalnya, di Yogyakarta lebih baik karena bisa langsung terakses advokasi kelompok masyarakat sipil, berbeda dengan wilayah lain.

Load More