Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Selasa, 18 Februari 2025 | 08:59 WIB
Kholifah (kiri) menunjukkan obat yang penuh di kantong berwarna biru untuk anaknya yang lumpuh, Senin (17/2/2025). [suara.com/Sigit AF]

SuaraJawaTengah.id - Kisah penuh perjuangan dialami seorang ayah tunanetra, Sandiman, 57, warga Kelurahan Pedurungan Tengah RT 04/01, Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang.

Dengan kondisi penuh keterbatasan, ia masih harus merawat putranya, Riza Irawan atau Wawan, 28, yang mengalami lumpuh layu sejak 7 tahun terakhir. Dalam merawat anaknya yang lumpuh, ia dibantu istri dan sang putri, meski keduanya mengalami keterbelakangan mental.

Tidak hanya kondisi kesehatan satu keluarga itu saja yang memprihatinkan, kondisi ekonominya juga sama.

Pemasukan keluarga ini hanya mengandalkan upah yang diterima Sandiman sebagai tukang pijat. Penghasilan itu tak menentu dan selalu habis untuk biaya berobat anaknya yang lumpuh.

Baca Juga: Dari Hobi Jadi Juara: Kisah SDN Klepu 03 Ungaran Taklukkan MilkLife Soccer Challenge

Saat ditanya terkait kondisi sang anak, Ingatan Sandiman terbawa ke masa 28 tahun silam. Alkisah, tiga hari setelah kelahiran putra pertamanya itu mengalami kejang dan demam tinggi (step).

Dia dan istri mengira itu  hanya penyakit  biasa, tetapi ternyata tidak. Mengetahui kondisi Wawan kecil yang tak kunjung membaik, ia kemudian mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk biaya  berobat.

Kala itu, akses kesehatan masih mahal. Uang yang dikumpulkan dari hasil memijat, selalu habis untuk berobat.

"Makan seadanya, penting ada untuk berobat. Belum satu minggu, step (kambuh) lagi," katanya saat ditemui SuaraJawaTengah.id di rumahnya di Jl. Pedurungan Tengah IV Nomor 03, Senin (17/2/2025).

Hingga kini, penyakit putranya itu tak juga sembuh, malah menjalar ke jenis penyakit lainnya. Sejak tujuh tahun terakhir,  Wawan mengalami lumpuh layu. Badannya kurus, kaki kanannya mengecil dengan tengkorak kepala yang besar.

Baca Juga: Ribut-ribut Hotman vs Razman, Pengacara di Jateng Ini Pamer Jualan Penyetan: Siang Sidang, Sore Nguleg Sambal

"Kata dokter, sarafnya telah mati," ujar Sandiman.

Karenanya, untuk kebutuhan makan minum,  Wawan hanya bisa disuapi. Sementara untuk mandi hingga buang air besar, Wawan juga harus dibopong ke kamar mandi.

Ibunya yang bertubuh lebih kecil, kerap kali terjatuh lalu menangis saat membopong Wawan.

"Kalau istri, sudah bilang tidak sanggup. Saya menguatkan meski sebetulnya juga berat menjalani ini. Tapi kalau saya tidak terlihat kuat, siapa lagi yang menguatkan istri," ucapnya.

Apalagi saat ini, Wawan juga mengalami kencing darah. Menurut Sandiman, adanya BPJS Kesehatan memang sangat membantu pengobatan anaknya, tetapi sejumlah obat yang tidak tercover BPJS juga harus ia tebus sendiri di apotek.

"Ini masih rutin kontrol satu bulan sekali di RS Bhayangkara Semarang," katanya.

Sandiman (kiri), warga Kelurahan Pedurungan Tengah RT 04/01, Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang, merawat anaknya yang lumpuh layu, Senin (17/2/2025). (suara.com/Sigit AF)

Rumah Terancam Dijual

Keluarga Sandiman tinggal di rumah sederhana yang berukuran 7x12 meter. Di rumah itu, terdapat satu kamar di ruang depan yang jadi tempat Sandiman memijat pelanggannya.

Sandiman merupakan perantaun asal Wonogiri yang tinggal di Semarang sejak 1985. Usia yang makin menua dengan kehidupan yang makin sulit, terbesit di pikirannya untuk kembali ke kampung halaman.

"Kalau di kampung kan banyak saudara, mungkin lebih banyak yang membantu merawat," ucapnya.

Namun, Sandiman masih penuh keraguan. Meski memiliki saudara di kampung, tetapi di sana dia tidak memiliki tanah maupun rumah.

Sempat terpikir di benaknya menjual rumah di Semarang untuk membangun rumah di kampung. Namun, dia masih dipenuhi keraguan.

"Kalau jual rumah ini, hanya cukup buat bangun rumah di kampung, pekerjaan saya bagaimana? Kalau ada modal juga buat usaha, mungkin bisa," ujarnya.

Tak Pernah Mendapat Bantuan

Sandiman mengaku telah menjadi warga Kota Semarang sejak tahun 1997. Namun, hingga kini tak sepeser pun bantuan dari pemerintah yang ia terima.

Dia bercerita, saat bertemu dengan temannya di Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITM) Kota Semarang, banyak temannya yang sudah mendapatkan bantuan.

"Saya juga bingung, kok saya sendiri yang tidak pernah mendapatkan bantuan," katanya.

Sandiman berharap pemerintah mau turun membantu nasib keluarganya yang tidak beruntung itu. "Harapannya, ini bisa bikin rumah di desa karena di sana banyak saudara biar ada yang bantu," ucapnya.

Sementara itu, istri Sandiman, Kholifah, 50, juga mengharapkan hal yang sama. Meski mengaku sabar dalam menghadapi ujianya hidupnya, tubuh tuannya tidak bisa berbohong.

"Sudah ujian saya, ya tak terima saja. Ayahnya sabar, tapi kadang saya tidak sabar," katanya.

Dia pun kerap tertekan dengan perkataan tetangga maupun saudara yang membandingkan anak-anaknya yang terlahir berbeda.  

"Ketakutan saya itu, kalau saya meninggal siapa yang akan merawat anak saya di sini," tukasnya.

Kontributor : Sigit Aulia Firdaus

Load More