Budi Arista Romadhoni
Kamis, 26 Juni 2025 | 15:14 WIB
Ilustrasi Candi Borobudur (Freepik)

SuaraJawaTengah.id - Proyek ambisus percepatan pembangunan pariwisata10 Bali Baru’ mulai menunjukkan dampak negatif ekologis dan ketimpangan sosial. Tantangan masyarakat sipil menggugat ilusi program yang populis.

Sejak pertama disosialisasikan tahun 2016, proyek ‘10 Bali Baru’ digadang menjadi solusi mengurangi beban wisata di Bali. Sekaligus mendorong perkembangan beberapa destinasi wisata di daerah, sehingga menjadi tujuan baru favorit para pelancong luar negeri.

Di Sumatera dan Jawa, titik yang dituju Danau Toba—UNESCO Global Geopark— Sumatera Utara; Tanjung Kelayang di Bangka Belitung; Tanjung Lesung di Banten; Kepulauan Seribu, DKI Jakarta; Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah; serta Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur.

Sedangkan di Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur proyek Bali Baru ditetapkan di Mandalika (NTB), Labuan Bajo-Pulau Komodo, serta Wakatobi dan Morotai.

Dari 10 destinasi wisata ‘Bali Baru’ ini, tiga diantaranya: Danau Toba, Borobudur, dan Labuan Bajo, ditetapkan masuk dalam Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).

Perkembangan infrastruktur pendukung pariwisata terlihat maju pesat di destinasi-destinasi wisata tersebut. Sirkuit Mandalika misalnya, untuk pertama kalinya berhasil masuk dalam seri balap motor dunia MotoGP pada musim 2022.

Minim Pemenuhan Hak Dasar

Jalan lingkar Samosir sepanjang 145,9 kilometer dibangun untuk mendukung kunjungan wisata ke Danau Toba. Kementerian PUPR juga membangun Desa Wisata Ambarita sebagai salah satu dari 10 pilot project Desa Wisata Nasional tahun 2017.

“Pembangunan yang masif di destinasi wisata tidak diimbangi dengan pembangunan fasilitas kebutuhan dasar masyarakat. Banyak warga kami tidak ada air, bahkan untuk sekadar gosok gigi,” kata Anggota Dewan Ruang Inisiatif Toba, Masro Delima Silalahi.

Baca Juga: Polemik Tolak Rencana Kremasi Murdaya Poo di Borobudur

Delima hadir sebagai salah satu narasumber Sarasehan Nasional bertajuk “Pariwisata Berbasis Identitas dan Budaya Lokal” di Taman Lumbini, kompleks Candi Borobudur.

Diskusi itu diprakarsai wadah pemuda Kecamatan Borobudur, Mahajava Aksata. Mereka menggelar Festival Tridaya Mandala Borbudur untuk mendorong konsep wisata berkelanjutan yang mengutamakan sumber daya lokal.

Selain Delima, hadir juga Direktur Eksekutif Daerah Walhi Nusa Tenggara Barat, Amri Nuryadin, pendiri Flores Documentary Network (FDN), Gregorius Afioma, dan inisiator Bali Performing Arts Meeting, Wayan Sumahardika.

Mereka mewakili daerah yang menjadi objek proyek ‘10 Bali Baru’: Danau Toba, Mandalika, dan Pulau Komodo. Warga Borobudur sendiri diwakili Dwias Panghegar, pegiat kerajinan batik sekaligus Sekretaris SKMB.

Sentra Kerajinan dan Makanan Borobudur atau SKMB adalah paguyuban pedagang kaki lima korban penggusuran Zona II kompleks Candi Borobudur. Sebanyak 360 anggota SKMB saat ini belum mendapat hak menempati kios pengganti di Kampung Seni Borobudur (KSB) seperti yang dijanjikan.

Sarasehan Nasional bertajuk “Pariwisata Berbasis Identitas dan Budaya Lokal” di Taman Lumbini, kompleks Candi Borobudur Selasa (24/6/2025). [Suara.com/Angga Haksoro]

Jejaring Korban KSPN

Load More