SuaraJawaTengah.id - Dominasi padi yang dikembangkan secara monokultur selama ratusan tahun telah mengubah budaya di meja makan kita hari ini. Sebuah kebijakan yang menanamkan 'mitos' bahwa nasi adalah satu-satunya sumber pangan orang Nusantara.
Sejak kecil, kita dijejali pengetahuan—yang seolah tak terbantahkan—bahwa mayoritas masyarakat Indonesia hidup dari mencangkul sawah. Padi menjadi satu-satunya komoditas yang ditanam secara masif, dan mungkin hingga saat ini.
Swasembada beras selalu dianggap sebagai capaian tertinggi pembangunan nasional. Paling tidak, begitulah narasi yang digaungkan laporan Dunia Dalam Berita di TVRI pada era 1980-an.
Dominasi Nasi dan Politik Pangan Orde Baru
Rezim Orde Baru yang menjadikan ekonomi sebagai panglima, menempatkan rasio hasil panen beras tahunan sebagai indikator utama keberhasilannya. Lahan tanam padi terus diperluas, sementara stok cadangan beras di gudang Bulog selalu dipelototi oleh banyak pihak.
Namun sesungguhnya, politik adikuasa beras sudah terbentuk jauh sebelum itu, bahkan sejak zaman Majapahit. Para pedagang dari Cina dan India disebut-sebut mengenalkan beras-nasi sebagai sumber pangan baru yang prestisius.
Perlahan tapi pasti, nasi menggusur umbi-umbian dan sagu yang sebelumnya menjadi makanan pokok. Rakyat Majapahit konon mulai menanam padi berbulir putih sejak abad ke-13.
Perubahan politik pangan ini tidak hanya berdampak besar pada ekonomi, tetapi juga mengubah perilaku konsumsi masyarakat secara fundamental. Ketika lahan tanam padi berkurang yang berakibat pada merosotnya produksi, pola makan rakyat telanjur sulit diubah.
Jumlah permintaan yang masif inilah yang menyebabkan komoditas beras sangat rentan terhadap manipulasi, mulai dari korupsi impor hingga kasus dugaan beras premium oplosan yang ramai beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Lulusan Baru Merapat! Bursa Kerja Magelang 2025 Tawarkan Peluang Emas dari Perusahaan Top
Hingga kini, mayoritas orang Indonesia berpendapat, belum dianggap sah makan jika belum mengunyah nasi. Padahal, tersedia banyak sumber pangan alternatif sebagai penggantinya.
Tak Harus Nasi: Alternatif Karbohidrat Lokal
Badan Pangan Nasional (Bapanas) telah memverifikasi setidaknya enam komoditas pangan lokal yang kaya karbohidrat non-beras. Sumber pangan alternatif pengganti nasi itu adalah singkong, talas, sagu, jagung, pisang, dan kentang.
Dari sisi gizi, kandungan karbohidrat dari satu porsi nasi ukuran 100 gram, setara dengan:
- Singkong seberat 120 gram.
- Talas seberat 125 gram.
- 3 bonggol jagung ukuran sedang.
- Kentang seberat 210 gram.
- Pisang seberat 117 gram.
- Sagu seberat 50 gram.
Namun, mengubah pola makan tidak semudah membalik telapak tangan. Mengonsumsi nasi sudah dianggap mendarah daging, menjadi budaya yang sulit dilepaskan dari kebiasaan orang Indonesia. Padahal di masa lalu, masyarakat kita mengenal sumber pangan yang jauh lebih beragam.
Olahan jagung, singkong, dan talas dengan aneka rupa masih bisa ditemukan di pasar tradisional, meskipun jumlahnya tak lagi banyak.
Kisah Dariyah: Nasi Jagung dari Dapur Tradisional Magelang
Salah satu pembuat nasi jagung yang masih telaten menjalani usahanya adalah Dariyah. Ibu berusia 67 tahun, warga Desa Jati, Kecamatan Sawangan, Magelang ini, mengaku sejak kecil sudah akrab mengonsumsi nasi jagung.
Sejak empat tahun lalu, Dariyah mulai membuat nasi jagung untuk dijual melalui pedagang sayur keliling atau eyek. Rata-rata setiap hari ia mengolah 1,5 kilogram nasi jagung.
Sega jagung itu ia kemas dalam bungkusan kecil kertas nasi dan daun pisang. Satu bungkus nasi jagung lengkap dengan lauk ikan asin, sambal, dan kluban (urap), dijual seharga Rp2.500.
“Setiap hari saja buat sekitar 30 bungkus nasi jagung. Banyak yang suka. Paling nanti kembali lagi nggak terjual sekitar dua bungkus. Ya dimakan sendiri,” kata Dariyah sambil mengaduk aronan di dapur sederhananya.
Keuntungan dari menjual nasi jagung tidak seberapa. Selain harga jualnya yang murah, bahan baku biji jagung saat ini lumayan mahal, berkisar Rp9 ribu per kilogram. Padahal, berat biji jagung akan menyusut sekitar separuhnya setelah diolah.
“Dari 3 kilo jagung paling hanya jadi 1,5 kilo nasi jagung. Katulnya kan banyak,” jelasnya.
Proses 'Njelimet' di Balik Seporsi Sega Jagung
Nasi jagung buatan Dariyah tidak sesederhana proses mengukus jagung pipilan yang dicampur beras. Tahap pembuatannya lebih lama dan njelimet (rumit).
Sebelum digiling, biji jagung direndam selama tiga hari tiga malam agar teksturnya lunak. Tepung jagung kemudian dijemur hingga kering. Tepung lantas dibasahi secukupnya dengan air sebelum dikukus sekitar 20 menit. Setelah itu, tepung jagung diangkat dan dicampur sedikit air hangat untuk dikukus kembali.
Proses membasahi tepung jagung ini diulangi dua kali hingga didapatkan tekstur nasi jagung yang kering tapi tetap pulen. “Takaran airnya pakai perasaan. Kalau air hangatnya terlalu banyak, nasinya lengket. Kalau terlalu dingin, segane anyep,” kata Dariyah berbagi rahasia.
Sri Widayati, putri sulung Dariyah, mengaku tidak sanggup meniru keahlian ibunya. “Butuh tangan orang sepuh yang sudah pengalaman biar hasil nasi jagungnya enak.”
Harapan pada Pemerintah dan Ketahanan Pangan
Sri hanya membantu memasarkan nasi jagung buatan ibunya, salah satunya melalui kelompok UMKM yang dibentuk oleh Pemerintah Desa Jati. Dari kelompok ini, Sri belajar mengemas nasi jagung kering dalam kemasan plastik yang dijual seharga Rp28 ribu per kilogram.
Melalui kelompok UMKM Desa Jati, Sri sering mendapat pesanan nasi jagung dari dinas pemerintah atau kepolisian. “Kebanyakan buat oleh-oleh kalau ada tamu dari dinas. Nasi jagung saja tanpa lauk.”
Menurut Sri, nasi jagung belum dikenal luas oleh masyarakat. Pembelinya kebanyakan adalah mereka yang rindu masakan tradisional atau sedang menjalani diet nasi putih.
“Anak sekarang mana kenal nasi jagung. Mereka tahunya makanan pokok ya nasi putih itu. Padahal ada banyak jenis makanan lain yang bisa menggantikan nasi. Nasi jagung lebih sehat lho,” kata Sri setengah berpromosi.
Ia berharap para pedagang nasi jagung mendapat bantuan modal agar bisa membeli jagung pipilan dalam jumlah lebih banyak dengan harga lebih murah. Saat ini, mereka paling banter hanya mampu membeli 25 kilogram jagung.
Selain itu, pemerintah juga diharapkan membantu mempromosikan nasi jagung sebagai alternatif pangan. Ini sejalan dengan program ketahanan pangan yang sedang digencarkan.
“Kalau bisa petani juga dikasih bantuan dan didorong untuk menanam jagung di sekitar sini. Kalau ada yang tanam jagung di sekitar sini kan harganya nanti bisa lebih murah.”
Kontributor : Angga Haksoro Ardi
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Ban Motor Anti Slip dan Tidak Cepat Botak, Cocok Buat Ojol
- 5 Mobil Bekas Senyaman Karimun Budget Rp60 Jutaan untuk Anak Kuliah
- Jordi Cruyff Sudah Tinggalkan Indonesia, Tinggal Tandatangan Kontrak dengan Ajax
- 5 Shio yang Diprediksi Paling Beruntung di Tahun 2026, Ada Naga dan Anjing!
- 5 Sabun Cuci Muka Wardah untuk Usia 50-an, Bikin Kulit Sehat dan Awet Muda
Pilihan
-
Google Munculkan Peringatan saat Pencarian Bencana Banjir dan Longsor
-
Google Year in Search 2025: Dari Budaya Timur hingga AI, Purbaya dan Ahmad Sahroni Ikut Jadi Sorotan
-
Seberapa Kaya Haji Halim? Crazy Rich dengan Kerajaan Kekayaan tapi Didakwa Rp127 Miliar
-
Toba Pulp Lestari Dituding Biang Kerok Bencana, Ini Fakta Perusahaan, Pemilik dan Reaksi Luhut
-
Viral Bupati Bireuen Sebut Tanah Banjir Cocok Ditanami Sawit, Tuai Kecaman Publik
Terkini
-
SIG Dukung Batam Jadi Percontohan Pengembangan Fondasi Mobilitas & Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan
-
Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Tengah Kirim 29 AMT untuk Pemulihan Suplai di Sumatera
-
4 Link Saldo DANA Kaget Jumat Berkah: Raih Kesempatan Rp129 Ribu!
-
Skandal PSSI Jateng Memanas: Johar Lin Eng Diduga Jadi 'Sutradara' Safari Politik Khairul Anwar
-
8 Tempat Camping di Magelang untuk Wisata Akhir Pekan Syahdu Anti Bising Kota