Budi Arista Romadhoni
Kamis, 11 Desember 2025 | 07:55 WIB
Tangkapan layar hutan gundul di lereng gunung Slamet. [Instagram @humas_pemkab_banyumas dan @purwokertokeren]
Baca 10 detik
  • Bupati Banyumas melaporkan tiga lokasi tambang merusak lingkungan Gunung Slamet pada rapat koordinasi di Semarang, Senin (8/12/2025).
  • Tiga lokasi tersebut meliputi proyek panas bumi gagal di Cilongok, tambang granit di Baseh yang ditolak warga, dan tambang pasir di Gandatapa.
  • Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi merespons dengan membentuk Satuan Tugas Penanganan Pertambangan melibatkan aparat penegak hukum.

SuaraJawaTengah.id - Gunung Slamet kembali menjadi sorotan. Bukan karena aktivitas vulkaniknya, tetapi karena kerusakan lingkungan yang kian terlihat dari lereng hingga kawasan penyangganya.

Dalam rapat koordinasi Forkopimda Jawa Tengah dan Forkopimda Kabupaten/Kota di Gedung Gradhika Bhakti Praja, Semarang, Senin (8/12/2025), Bupati Banyumas Sadewo Tri Lastiono secara resmi melaporkan tiga lokasi tambang yang dinilai berkontribusi terhadap kekritisan kawasan di sekitar Gunung Slamet.

Laporan ini diserahkan langsung kepada Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi sebagai bentuk penegasan bahwa persoalan tambang tak lagi bisa dianggap sepele.

Selain memicu penolakan masyarakat, aktivitas tambang-tambang tersebut menimbulkan kekhawatiran tentang masa depan bentang alam dan keselamatan warga yang tinggal di lereng gunung.

Tambang Pertama: Jejak Gagal Proyek Panas Bumi di Cilongok–Bumiayu

Lokasi pertama yang disampaikan Bupati Sadewo berada di wilayah Kecamatan Cilongok, tepatnya di perbatasan dengan Kecamatan Bumiayu, Kabupaten Brebes. Kawasan ini berada di lereng selatan Gunung Slamet, area yang selama bertahun-tahun dikenal rawan longsor dan kritis.

Di lokasi ini sebelumnya berdiri proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang dikelola PT Sejahtera Alam Energi (PT SAE). Namun proyek tersebut gagal dilanjutkan.

Alih-alih memberi manfaat energi bersih, proyek yang mangkrak itu justru meninggalkan luka ekologis berupa pembukaan lahan besar-besaran yang membuat kawasan hutan semakin gundul.

Sebagaimana dikutip dari Instagram @humas_pemkab_banyumas, Sadewo menjelaskan, saat ini PT SAE sudah tidak lagi melanjutkan proyeknya dan memilih fokus melakukan reboisasi.

Baca Juga: Menjaga Nafas Alam: Gunung Slamet Diusulkan Jadi Taman Nasional Demi Ketahanan Air dan Pangan

Upaya pemulihan itu menjadi penting mengingat pembukaan lahan sebelumnya telah memperbesar risiko erosi dan memperparah kerentanan ekologis di Kaki Gunung Slamet.

Namun pemulihan tidak bisa dilakukan dengan cepat. Area yang telah terbuka tetap menyisakan potensi bahaya, terutama pada musim hujan. Karena itu Bupati menilai lokasi ini harus tetap mendapat pengawasan ketat.

Tambang Kedua: Batu Granit Baseh yang Ditolak Warga

Lokasi kedua berada di Desa Baseh, Kecamatan Kedungbanteng, sebuah kawasan dengan kontur perbukitan yang langsung terhubung dengan zona tangkapan air di lereng Gunung Slamet. Di lokasi ini beroperasi tambang batu granit yang sejak awal menuai penolakan masyarakat.

Warga Baseh menilai aktivitas penambangan berisiko merusak sumber air, memperburuk kualitas udara, dan memicu potensi longsor. Suara penolakan semakin menguat, hingga akhirnya aktivitas tambang tersebut ditutup sementara.

Bupati Sadewo menegaskan bahwa penutupan sementara dilakukan sambil menunggu proses penyelesaian dan penertiban sesuai ketentuan.

Pemerintah daerah membutuhkan landasan hukum yang jelas, mengingat persoalan tambang sering kali melibatkan perizinan lintas otoritas.

Tambang Baseh menjadi contoh bagaimana area dengan fungsi ekologis penting bisa rusak hanya karena eksploitasi batuan untuk kepentingan industri.

Bila tidak ditangani serius, kerusakan di wilayah ini dapat mengganggu stabilitas kawasan hulu yang menjadi penyangga Banyumas dan sekitarnya.

Tambang Ketiga: Pasir dan Tanah di Gandatapa yang Mengantongi Izin

Lokasi ketiga berada di Desa Gandatapa, Kecamatan Sumbang, berupa tambang pasir dan tanah. Meski tambang di Gandatapa sudah mengantongi perizinan resmi, bukan berarti tidak menghadirkan masalah.

Warga sekitar mengeluhkan debu, kerusakan jalan, serta penurunan kualitas lingkungan akibat aktivitas tambang yang intensif.

Posisi Gandatapa sebagai daerah penyangga air menjadikan persoalan ini semakin serius. Penambangan pasir tanpa kendali dapat mempercepat degradasi tanah, memicu instrusi air, hingga mengubah karakter hidrologis desa.

Sadewo menyebut dua lokasi—Baseh dan Sumbang—sebagai yang masih bermasalah dan membutuhkan langkah penanganan lebih lanjut. “Cilongok sudah ditangani, Baseh Kedungbanteng dan Sumbang yang masih bermasalah,” ujarnya.

Gubernur Luthfi Bentuk Satgas Penanganan Pertambangan

Menyikapi laporan tersebut, Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi tidak tinggal diam. Ia langsung menginstruksikan Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Pertambangan. Satgas ini akan melibatkan unsur Pemprov, Kepolisian, TNI, dan Kejaksaan Tinggi.

“Kita segera bentuk satgas penambangan yang isinya dinas kita, kepolisian, TNI, dan kejaksaan. Besok Dinas ESDM langsung buat surat ke Polda, Kodam, dan Kejaksaan,” tegas Luthfi.

Satgas ini diharapkan menjadi langkah konkret untuk menertibkan aktivitas tambang yang tidak sesuai aturan, mengawasi izin, dan memastikan penegakan hukum berjalan tanpa tebang pilih.

Penanganan terpadu dibutuhkan karena persoalan tambang sering melibatkan aktor besar, tumpang tindih regulasi, dan dampak lingkungan jangka panjang.

Laporan Bupati Sadewo membuka tabir bahwa kondisi “gundulnya” Gunung Slamet bukan sekadar isu liar. Tiga titik tambang tersebut menunjukkan bahwa kerusakan kawasan hulu terjadi secara nyata dan memiliki jejak aktor serta peristiwa yang jelas.

Tanpa pengawasan ketat, kawasan yang seharusnya menjadi benteng ekologis Jawa Tengah justru berubah menjadi titik rawan bencana.

Penanganan serius dari Pemprov dan keterlibatan Satgas Pertambangan diharapkan menjadi titik balik untuk memulihkan kembali lereng Slamet. Sebab ketika hulu hancur, daerah hilirlah yang menanggung dampaknya.

Gunung Slamet membutuhkan waktu puluhan tahun untuk pulih. Dan jika kerusakan tidak dihentikan, generasi mendatang hanya akan mewarisi luka ekologis yang seharusnya bisa dicegah hari ini.

Kontributor : Dinar Oktarini

Load More