SuaraJawaTengah.id - Suhartini, janda berusia 49 tahun asal Dukuh Jetak, RT 13, Desa Hadiluwih, Sumberlawang, Sragen, Jaw Tengah, akhirnya bisa bernapas lega setelah selesai menggelar hajatan pernikahan putrinya.
Hajatan yang digelar pada Rabu (16/10/2019) itu sempat diboikot warga, karena perbedaan pilihan dalam pemilihan kepala desa. Terlepas dari boikot itu, pesta pernikahan tetap ramai didatangi tamu.
Sehari setelah pesta pernikahan putri kedua Suhartini, Dwi Sri Suwarni dengan Eko Jatmiko, itu masih ada sejumlah tamu yang datang.
Suhartini merasa lega, akhirnya pesta hajatan pernikahan putrinya itu berjalan lancar meski sempat diboikot oleh sebagian besar warga di RT 13.
Baca Juga:Hajatan Mantu di Sragen Diboikot Warga karena Pilkades, Ini Faktanya
“Sekarang saya sudah plong. Kemarin-kemarin saya masih diam. Tapi sekarang saya mau blak-blakan karena acara pernikahan anak saya sudah selesai,” ujar Suhartini kala ditemui Solopos.com—jaringan Suara.com di rumahnya, Kamis (17/10/2019).
Suhu Politik
Suhartini merupakan korban dari panasnya suhu politik saat berlangsungnya Pilkades serentak pada 26 September lalu.
Meski sudah hampir sebulan berlalu, sebagian warga masih kesal dengan Suhartini yang enggan mendukung salah satu calon kepala desa (cakades) dari satu RT.
Saat cakades itu kalah, Suhartini disalahkan. Padahal, calon yang didukung Suhartini juga sama-sama kalah.
Baca Juga:Pilkades jadi Ajang Judi, Lelaki Paruh Baya dan Pemuda Dicokok Polisi
“Sejak pilkades itu sudah ada yang mengancam kalau ada yang punya gawe nanti tidak akan ada yang rewang [membantu]. Kebetulan ada dua warga yang mau punya gawe, salah satunya saya. Saya pikir itu hanya emosi sesaat, tak tahunya memang benar-benar terjadi,” kata Suhartini.
Mendekati hari H, desas-desus rencana boikot warga santer terdengar di telinga Suhartini dan keluarga besarnya.
Desas-desus itu semakin menguat tatkala Suhartini mendatangi ketua RT setempat, untuk minta tolong supaya warga sekitar mau menjadi rewang demi lancarnya pesta pernikahan sang putri.
Pada saat itu, Suhartini merasa dipingpong. “Kata Pak RT, dia sudah tidak mengurusi itu. Lalu saya diminta datang ke pengurus karangtaruna. Saya kemudian datang ke pengurus karangtaruna, dia malah kaget karena merasa tidak diberi wewenang untuk mengurusi warga yang diminta jadi rewang,” kenang Suhartini.
Demi mengantisipasi hal yang tidak diinginkan, kegiatan kumbokarnan atau rapat panitia hajatan akhirnya digelar pada H-7. Biasanya, kegiatan kumbokarnan digelar pada H-2.
Dihalang-halangi
Ironis, dari ratusan warga di RT 013 yang diundang mengikuti kumbokarnan, sebagian besar tidak datang.
Bahkan, saat keluarga mengedarkan punjungan yang berisi aneka makanan kepada warga, sebagian besar dikembalikan.
Bingkisan teh dan gula yang sebelumnya diserahkan kepada ketua RT setempat juga ikut dikembalikan.
“Hati saya rasanya tidak keruan. Niat baik saya memberi punjungan kok malah dikembalikan. Sejumlah punjungan yang dikembalikan itu bahkan tertera nama-nama yang menolak punjungan itu,” beber Suhartini.
Lantaran mendapat respons kurang baik dari warga sekitar, mau tidak mau Suhartini mengandalkan tenaga dari luar. Umumnya, mereka didatangkan saudara-saudara Suhartini dari luar desa, bahkan luar kecamatan.
Beruntung, warga Majelis Tafsir Alquran (MTA) Sumberlawang, Sragen, juga ikut membantu menjadi rewang dan melayani tamu undangan, khususnya dari keluarga besan. Mereka sudah membantu pekerjaan di rumah Suhartini sejak Selasa (15/10/2019) hingga hari H, Rabu (16/10/2019).
“Ada sejumlah warga sekitar yang kasihan lalu nekat datang ke kemari walau sempat dihalang-halangi segelintir orang. Mereka bahkan diancam dengan kata-kata titenono mengko kalau masih mau jadi rewang hajatan Bu Hartini. Ancaman seperti itulah yang membuat warga lain ikut-ikutan memboikot hajatan itu,” kata Purwadi, keponakan dari Suhartini.
Sebagaimana diinformasikan, kisah tentang pemboikotan hajatan di Sumberlawang, Sragen, ini sempat viral di media sosial. Penyebabnya karena beda pilihan saat pilkades.