Kisah 'Manusia Karung' Kota Semarang yang Pasrah di Tengah Pandemi Corona

Yati mengaku bisa sedikit bernafas lega. Lantaran banyak orang memberikan bantuan kepadanya.

Chandra Iswinarno
Rabu, 13 Mei 2020 | 16:42 WIB
Kisah 'Manusia Karung' Kota Semarang yang Pasrah di Tengah Pandemi Corona
Salah satu Manusia Pembawa Karung di jalanan Protokol Semarang. [Ayosemarang,com]

SuaraJawaTengah.id - Pandemi Covid-19 yang terjadi nyaris di seluruh belahan dunia, dampaknya ikut dirasakan berbagai kalangan masyarakat. Mulai dari kalangan atas hingga paling bawah sekalipun. Seperti halnya dirasakan seorang pemulung di Kota Semarang yang merasakan imbas wabah Virus Corona.

Meski merasakan imbasnya, namun mereka tetap bekerja seperti biasa, mengais barang bekas yang bisa dijual serta plastik meski saat ini tidak sebanyak sebelum Covid-19 mewabah.

Meski dari hasil memulung terbilang sangat minim di bulan Ramadan kali ini, namun mereka sedikit terbantu lantaran banyak masyarakat memberikan bantuan dalam bentuk uang maupun beras.

Dari pantauan Ayosemarang.com-jaringan Suara.com di beberapa sudut Ibu Kota Jawa Tengah, fenomena pemulung atau manusia karung masih banyak terlihat. Seperti yang terlihat di sekitaran jalan protokol Semarang, di siang hari, mereka kerap beristirahat usai berkeliling mencari rongsok.

Baca Juga:Kisah Eros Jatuh Miskin saat Wabah Corona, Akhirnya Jadi Manusia Karung

Salah satunya, Yati (57) yang ditemui Ayosemarang.com di salah satu jalan protokol. Saat ditemui, pandangan matanya memandang ke arah lalu lalang kendaraan yang melintas seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Sedang istirahat saja mas. Habis zuhur biasanya saya pulang buat nimbang semua barang yang didapat hari ini," ujar Yati, Rabu (13/5/2020).

Yati mengakui, saat ini kesulitan mendapat barang rongsok seperti botol plastik, aneka barang pecah belah, dan lainnya. Padahal, dari barang rongsok itu, dia menyambung hidup mencukupi kebutuhannya sehari-hari.

"Sulit sekarang cari barang bakas. Paling sehari dapat 5 kilogram hingga 10 kilogram. Itu juga kadang warga sini ada yang ke sini ngasih barng rogsoknya kepada saya. Walaupun ndak mesti siap hari ada," katanya.

Tak hanya susah mencari barang bekas, perempuan yang sudah 6 tahun merantau ini juga mengeluhkan harga jual per kilogram yang dikumpulkan tiap harinya itu.

Baca Juga:Kota Bandung Mulai Diserbu Manusia Karung, Siapa Mereka?

Dijual Murah

Jika sebelum pandemi, pengepul barang bekas menghargai barang rongsok per kilogram bisa mencapai Rp 2.000. Kini, menurut Yati, barang bekas yang dikumpulkannya hanya dihargai Rp 500 per kilogram.

"Sekarang Rp 500 mas. Kalau sehari dapat 10 kilogram, ya paling dapatnya Rp 5.000. Itu hasil seharian ngumpulin. Padahal sebelum ini harganya bisa sampai Rp 2.000 per kilogram. Ndak tahu kenapa hargane turun," katanya.

Kondisi tersebut membuat Yati resah, karena dengan pendapatan Rp 5.000, dia harus bisa mencukupi kebutuhannya. Namun, pada Ramadan ini, dia mengaku bisa sedikit bernafas lega. Lantaran banyak orang memberikan bantuan kepadanya. Bahkan, Ramadan ini pun kadang menjadi momen untuk dirinya mendapatkan penghasilan lebih dari hari biasnya.

"Kalau pas puasa gini, banyak yang ngasih. Uang kalau ndak beras. Bisa sedikit terbantu. Jadi ada sedikit uang untuk membeli kebutuhan lainnya," ucapnya.

Meski begitu, perempuan asal Yogyakarta ini mengaku tidak bisa pulang kampung pada momen lebaran kali ini karena adanya larangan mudik dari pemerintah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak