Timbal Balik Subsidi, Petani Banyumas: Pupuk Subsidi Kualitasnya Jelek

Petani Banyumas menyebut, untuk mendapatkan pupuk bersubsidi juga harus memiliki kartu tani, itupun juga dibatasi tidak sesuai kebutuhan

Budi Arista Romadhoni
Selasa, 12 Januari 2021 | 16:01 WIB
Timbal Balik Subsidi, Petani Banyumas: Pupuk Subsidi Kualitasnya Jelek
Ilustrasi petani padi membawa benih.[Pixabay]

SuaraJawaTengah.id - Presiden Joko Widodo menyinggung perihal hasil dari subsidi untuk pupuk pertanian. Dia mengatakan setiap tahun pemerintah memberikan anggaran Rp33 Triliun untuk subsidi pupuk. Namun, menurutnya hasil dari sektor pertanian belum dapat dirasakan.

Menanggapi hal tersebut, salah satu petani di Banyumas, Eko Wid yang merupakan warga Desa Notog, Kecamatan Patikraja menjelaskan selama ini dirinya cukup kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi.

Masalahnya, dikarenakan dirinya belum memiliki kartu tani. Sedangkan menurutnya, di desanya saja, kepemilikan kartu tani masih dibatasi hanya untuk 160 petani.

"Di Desa Notog sendiri hanya ada kuota kartu tani sebanyak 160 orang. Itu sudah terpenuhi. Begitu orang lain yang juga petani ingin mendapatkan kartu tani tidak bisa karena kuota sudah terpenuhi. Padahal masih ada ratusan orang di Desa Notog yang petani tapi belum punya kartu tani," katanya saat ditemui, Selasa (12/1/2021).

Baca Juga:Paranoid Covid-19, Warga Banyumas ini Tutup Rapat Rumahnya dengan Seng

Bukan hanya itu permasalahan yang dihadapi petani. Meskipun memiliki kartu tani, mereka juga dibatasi kepemilikan pupuk bersubsidi. Padahal setiap massa panen, para petani ini harus dua kali memupuk padinya.

"Bukan hanya orang yang tidak kartu tani saja, yang punya kartu tani pun tidak cukup pupuknya. Karena hanya dibatasi 100 kg per 0,1 hektar saja. Itu kurang banget. Sawah itu pemupukan dua kali. Pemupukan pertama setelah tanam, lalu kedua menjelang berbuah. Pemupukan pertama membutuhkan 50 kg urea dicampur 15 kg TSP per 0,25 hektar," jelasnya.

Ia membandingkan harga pupuk bersubsidi pada tahun lalu yang hanya Rp1.800 per kg dengan yang non subsidi dengan harga Rp7000 per kg. Namun kualitasnya berbeda.

"Bagus yang non subsidi itu, saya heran. Padahal itu subsidi, tapi kualitasnya jauh banget dengan non subsidi. Kalau dilihat dengan angka pemerintah yang memberikan Rp 33 triliun untuk pupuk subsidi, harusnya kualitasnya bisa sama. Tapi nyatanya yang subsidi kualitasnya jelek. Sehingga membutuhkan banyak pupuk," terangnya.

Selain masalah pupuk, menurutnya petani juga dihadapkan dengan banyak masalah. Hasil panen terakhir, ditingkat petani masih banyak yang kesulitan untuk menjual gabah kering. Padahal harganya hanya Rp 5000 per kg. Cukup untuk ongkos produksi.

Baca Juga:Naksir Istri Orang, Petani Ini Berakhir Dikarungi dan Dibuang ke Got

"Banyak pedagang tidak mau membeli, sebabnya karena Bulog tidak melakukan penyerapan. Kemudian ada program BLT non tunai yang diberikan dalam bentuk beras," tuturnya.

Stok miliknya saja di gudang untuk panenan terakhir, masih ada 3 ton karena tidak bisa menjual. Sedangkan tetangganya, masih ada stok 10 ton karena tidak ada yang mau membeli.

Kontributor : Anang Firmansyah

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini