Sedulur Sikep Berada di Kudus, Begini Cerita Saminisme di Kota Kretek

Sedulur sikep adalah kelompok penganut saminisme atau kepercayaan penghayat

Budi Arista Romadhoni
Senin, 08 Maret 2021 | 14:53 WIB
Sedulur Sikep Berada di Kudus, Begini Cerita Saminisme di Kota Kretek
Sekretariat sedulur sikep di Kudus. [Suara.com/Fadil AM]

SuaraJawaTengah.id - Sedulur sikep memang tak lepas dari ajaran samin atau kelompok dengan kepercayaan penghayat. Kelompok ini memang tak banyak yang tahu. Selain di Blora, sedulur sikep juga ada di Kabupaten Kudus

Seorang Tokoh Sedulur Sikep Kudus, Budi Santosa menceritakan perjalanan ajaran Samin yang berada di Desa Larikrejo RT2/RW1, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus. 

Ia mengisahkan, sebagaimana ajaran Samin Surosentiko atau dikenal masyarakat luas sebagai Saminisme bisa diamalkan segelintir masyarakat di Kota Kretek. Seperti di Larikrejo, Kaliyoso, Karangrowo, dan Kutuk yang masuk wilayah Kecamatan Undaan.

Budi menyebut, ada sekitar 10-18 kepala keluarga (KK) di Larikrejo yang menjadi pengikut penghayat kepercayaan tersebut. Hanya saja, dari jumlah tersebut ada pengikut yang aktif dan juga pasif.

Baca Juga:Setelah Kebakaran, Sebagian Pedagang Pasar Kliwon Mulai Jualan Lagi

“Mayoritas bermata pencarian sebagai petani. Meski ada pula yang menjadi kuli bangunan, perantauan, dan berjualan juga,” ujarnya, Senin (8/3/2021).

Budi menjelaskan, jika ajaran Sedulur Sikep lebih menekankan local wisdom masyarakat Jawa, interaksi antar sesama manusia dan berselaras dengan alam atau sering kita sebut dengan kearifan lokal.

“Sejarah sikep itu bukan tertulis, tetapi melalui budaya tutur. Sehingga pemahaman masing-masing orang sedikit berbeda, khususnya ajaran-ajaran yang diyakini,” terangnya.

Jika diruntut berdasarkan alur ketokohan, kakek buyut Budi Santosa yang kali pertama memeluk Sikep yang berakar dari Agama Adam.

“Kakek buyut Surongaden dari ibu, itu murid langsung Mbah Samin Surosentiko, saat itu belajar langsung di Blora. Sementara kakek buyut dari Bapak, itu setelahnya Mbah Buyut Rodiwongso, setelah Surosentiko ditangkap Belanda, wewahyu diturunkan kepada menantunya Mbah Surokidin. Itu awal ajaran Sikep ada di Kudus,” ungkapnya.

Baca Juga:Banjir Kudus, Petani yang Gagal Panen akan Dapat Klaim Asuransi

Ia membeberkan, ajaran Sikep jauh sudah ada sebelum era kolonialisme masuk ke Nusantara. Hanya saja, masyhur saat Samin Surosentiko melakukan perlawanan tanpa menyakiti terhadap penjajah.

Mengingat, ajaran Sikep meneruskan apa yang menjadi ajaran warisan leluhur orang Jawa.

“Sebenarnya ajaran Sikep ini, setahu orang umum kan ada di era pergerakan melawan Belanda. Artinya ajaran kerohanian, ajaran Genah Dunungeng Roso, Ngerteno Mulo Sangkan Paranging Dumadi, Gumelare Jagad Sepisanan Jagad Sing Awang-Awang Uwung-Uwung itu sudah ada, bukan di eranya Belanda,” jelasnya.

Ada kaitannya, kenapa Samin atau Wong Sikep saat itu melawan Belanda. Karena bangsa eropa menginjakkan kaki di tanah Jawa berkeinginan untuk menguasai dan merebut semua Sumber Daya Alam (SDA) yang ada.

“Ada dasarnya. Belanda di sini menjajah tanah Hyang Buyut (nenek moyang)-nya orang Jawa, maka harus dijaga. Ibarat kita yang punya rumah, jangan sampai diatur tamu,” ucapnya.

Lantara ajaran Sikep meyakini semua manusia di dunia adalah saudara. Sehingga bentuk perlawanannya tidak dengan mengangkat senjata, tetapi lebih pada laku keseharian.

“Jika melawan Belanda dengan kekerasan, ini akan bertentangan dengan ajaran. Kalau kita menggunakan cara kekerasan, secara tidak langsung kita kehilangan tanah Jawa, karena tidak mengikuti falsafah hidup orang Jawa,” tegas Budi.

Satu-satunya cara adalah dengan melakukan pembangkangan apa-apa yang menjadi kepentingan kolonialisme saat itu.

Meski harus menerima perlakukan yang sadis, pengikut Samin tetap tegak lurus dengan apa yang diyakini yakni tidak boleh srei (jegal), jrengki (benci), dahpen (mencela), panasaten (mudah marah), kemiren (iri hati).

“Diperlakukan kejam era Belanda karena melakukan perlawanan dengan sikap. Contohnya kakek buyut di Kaliyoso, kakek, hingga bapak saya, ibarat mandi darah karena tidak mau membayar pajak masa belanda. Sandang pangan, rumah dirobohkan, buat lagi dibakar, hewan ternak sapi dan kerbau dirampas,” ujarnya.

Setelah menggunakan cara kekerasan tidak mempan, dah malah semakin berkembang ideologi tersebut. Maka oleh Belanda menggunakan stigma negatif kepada penganut Sedulur Sikep.

“Untuk menghilangkan pengikut, maka oleh Belanda membuat stigma negatif. Seperti, Samin pingin membuat negara sendiri, tidak mengikuti aturan pemerintah, kolot, dan sebagainya. Ini karena Samin berani melawan penjajah. Dan stigma itu saya kira masih melekat sampai sekarang,” paparnya.

Di tengah gempuran modernisasi di era 4.0, penganut Sikep tetap kukuh melestarikan warisan budaya Jawa. Baik dalam berkehidupan sehari-hari dengan manusia lainnya, hingga berselaras dengan alam.

Budi menyebut, saat ini orang yang mengaku sebagai orang Jawa, telah banyak yang tidak mau menerapkan tradisi jawa yang diwariskan oleh leluhur.

Padahal, ajaran Jawa memiliki banyak nilai seperti, cara bertani, pegangan hidup, adat istiadat, tata krama, sastra, cara bertutur, dan sebagainya.

“Tradisi sesuai ajaran, pernikahan misalnya. Pegangan sebagai kebesaran seperti pakaian adat. Unggah-ungguh menghormati leluhur dan manusia lainnya ditekankan. Itu contoh kecilnya,” jelasnya.

Meski begitu, diakui Budi, di Sedulur Sikep tidak memiliki hari raya khusus seperti aliran kepercayaan atau agama lainnya.

Hanya saja pada bulan Suro dalam penanggalan Jawa, biasa melakukan tirakat muteh (puasa, makan tidak mengandung hewan hidup, biasanya hanya nasi putih saja). Tidak tidur sehari-semalam, dan semedi (meditasi, pemusatan pikiran dan perasaan) secara bersama-sama.

“Itu tadi kan ajaran Jawa, sehingga kalau kita klaim sebagai Hari Raya Sikep kan enggak baik. Kalau kita mau buat hari raya sendiri sebetulnya bisa saja, kalau kita mau. Belum ada hari raya,” pungkasnya.

Kontributor : Fadil AM

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini