“Untuk menghilangkan pengikut, maka oleh Belanda membuat stigma negatif. Seperti, Samin pingin membuat negara sendiri, tidak mengikuti aturan pemerintah, kolot, dan sebagainya. Ini karena Samin berani melawan penjajah. Dan stigma itu saya kira masih melekat sampai sekarang,” paparnya.
Di tengah gempuran modernisasi di era 4.0, penganut Sikep tetap kukuh melestarikan warisan budaya Jawa. Baik dalam berkehidupan sehari-hari dengan manusia lainnya, hingga berselaras dengan alam.
Budi menyebut, saat ini orang yang mengaku sebagai orang Jawa, telah banyak yang tidak mau menerapkan tradisi jawa yang diwariskan oleh leluhur.
Padahal, ajaran Jawa memiliki banyak nilai seperti, cara bertani, pegangan hidup, adat istiadat, tata krama, sastra, cara bertutur, dan sebagainya.
Baca Juga:Setelah Kebakaran, Sebagian Pedagang Pasar Kliwon Mulai Jualan Lagi
“Tradisi sesuai ajaran, pernikahan misalnya. Pegangan sebagai kebesaran seperti pakaian adat. Unggah-ungguh menghormati leluhur dan manusia lainnya ditekankan. Itu contoh kecilnya,” jelasnya.
Meski begitu, diakui Budi, di Sedulur Sikep tidak memiliki hari raya khusus seperti aliran kepercayaan atau agama lainnya.
Hanya saja pada bulan Suro dalam penanggalan Jawa, biasa melakukan tirakat muteh (puasa, makan tidak mengandung hewan hidup, biasanya hanya nasi putih saja). Tidak tidur sehari-semalam, dan semedi (meditasi, pemusatan pikiran dan perasaan) secara bersama-sama.
“Itu tadi kan ajaran Jawa, sehingga kalau kita klaim sebagai Hari Raya Sikep kan enggak baik. Kalau kita mau buat hari raya sendiri sebetulnya bisa saja, kalau kita mau. Belum ada hari raya,” pungkasnya.
Kontributor : Fadil AM
Baca Juga:Banjir Kudus, Petani yang Gagal Panen akan Dapat Klaim Asuransi