SuaraJawaTengah.id - Pagi jelang siang, sekira pukul 10.00 WIB suasana sepi dan hening menyelimuti kawasan Masjid Baitussalam atau lebih dikenal Masjid Saka Tunggal di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas.
Wajar saja, lokasinya memang berada di ujung jalan, celah bukit desa setempat. Jarak dari jalan raya saja sekitar 4 kilometer. Jika dari wilayah Kota Purwokerto berkisar 30-an kilometer.
Jika masa liburan, wilayah ini juga menjadi destinasi wisata karena keunikan masjidnya yang bersaka tunggal, seperti namanya. Lokasinya yang masih asri membuat hewan liar masih ditemukan di sini. Monyet ekor panjang atau Macaca Fascicularis salah satunya.
Monyet ini dipercaya sudah ada sejak awal mula didirikannya Masjid Saka Tunggal. Tidak ada yang tahu persis kapan berdirinya masjid ini, namun menurut Juru Kunci Masjid Saka Tunggal, Sulam (50), masjid ini sudah berdiri sebelum adanya kerajaan Demak yang memiliki sejarah panjang.
Baca Juga:Malam Ini Tarawih Perdana, Jemaah Aboge Banyumas Jalani Puasa Pertama Besok
"Tidak ada yang tahu persis kapan didirikan, tapi yang jelas sebelum adanya Kerajaan Demak sana. Pendirinya adalah mbah Mustolih, dahulu dia adalah tokoh penyebar agama Islam di daerah sini," katanya saat ditemui, Kamis (15/4/2021).
Meskipun tidak diketahui kapan berdirinya, di salah satu sisi tiang saka tunggal yang berukuran 40 x 40 centimeter dengan tinggi sekitar 5 meter, tertulis angka 1288 dengan jelas menggunakan bahasa Arab yang diduga merupakan tahun berdirinya Masjid Saka Tunggal dalam kalender Hijriyah. Jika diartikan dalam kalender Masehi artinya angka tersebut menjadi 1522.
"Saka nya memang ada banyak, tapi itu hanya penopang. Kalau Saka Guru nya hanya satu. Saka itu tidak pernah diganti dari awal berdiri. Jenis kayunya tidak ada yang tahu memang. Tapi yang jelas masih kokoh sampai sekarang," terangnya.
Mayoritas penduduk Desa Cikakak juga merupakan pengikut Islam Aboge. Mereka mempunyai penentuan tanggal menggunakan tanggalan Jawa, Alif Rebo Wage atau Islam Aboge.
"Mayoritas ya hampir 90 persen pengikut Aboge. Ribuan lah jumlahnya, saya tidak tahu persis. Nah karena perhitungan itu makanya kami baru mengawali puasa pada hari Rabu (15/4/2021) kemarin. Beda dengan penetapan pemerintah. Tapi itu tidak jadi soal lah," jelasnya.
Baca Juga:Kisah Guru Agama di Banyumas Ajak Siswanya Nyantri Virtual Saat Ramadhan
Santri Buat Gaduh
Terdapat cerita tersendiri yang melegenda mengenai monyet-monyet yang ada di kompleks Masjid Saka Tunggal. Konon gerombolan monyet itu merupakan perwujudan santri-santri murid yang dikutuk menjadi monyet karena tidak mau salat.
Bahkan disebutkan, para santri itu justru membuat kegaduhan saat orang-orang tengah melaksanakan salat hingga berakhir menjadi monyet.
"Legendanya monyet ini merupakan santri yang malas. Jadi untuk pembelajaran anak-anak, saat ini agar taat mengaji. Diwujudkanlah santri-santri yang bandel dikutuk jadi monyet ini. Intinya kalau tidak rajin, berubah jadi monyet, harus senang ngaji terus, senang ke masjid," ungkapnya.
Meski begitu, warga masyarakat setempat sudah tidak mempercayai cerita tersebut. Hanya saja, cerita ini digunakan sebagai metode pembelajaran orangtua sekitar kepada anaknya agar rajin mengaji.
Saat ini keberadaan monyet diperkirakan mencapai 100 ekor di sekitar Masjid Saka Tunggal. Namun karena adanya kelompok-kelompok baru, monyet ini kemudian keluar ke desa sebelah dan jumlahnya total mencapai 500 ekor di hutan-hutan.
Dengan kondisi pandemi seperti ini tentu saja mengubah pola tradisi masyarakat yang sudah terbentuk. Sulam, bersama warga desa yang lain, sempat mengurangi aktivitas. Namun belakangan, pemerintah Kabupaten Banyumas mulai dilonggarkan dan menjadi angin segar bagi warga yang kerap melakukan kegiatan gotong royong ini.
"Untuk kunjungan ke sini pada awal-awal (pandemi) sangat berkurang. Tapi semakin kesini karena mungkin sudah dilonggarkan mulai aktif. Cuma ya belum normal kaya dahulu," jelasnya.
Masjid Saka Tunggal sendiri memiliki tiga juru kunci. Namun saat ini baru diisi dua juru kunci karena salah satu juru kunci nya meninggal dunia. Sistem juru kunci yang ada sudah ditentukan dari garis keturunan.
Hingga kini, tradisi penjarohan atau ziarah masih terus dilestarikan oleh masyarakat sekitar Masjid Saka Tunggal. tradisi ini bertujuan menghormati leluhur, dan biasa digelar setiap tanggal 26 Rajab. Dalam kegiatan tersebut biasanya warga bergotong-royong mengganti pagar bambu yang mengelilingi masjid dan juga makam sekitar masjid.
"Yang dimaksud jaroh itu adalah agar dijaga antara njaba lan njero atau menjaga luar dan dalam. Artinya kita menjaga tali silahturahmi dengan sesama dan juga menjaga kepercayaan kepada Allah," ujarnya.
Selain tradisi tersebut, Pemkab Banyumas juga memasukkan Festival Rewanda Bojana menjadi salah satu kalender wisata tiap tahunnya di Masjid Saka Tunggal. Sudah sekitar lima tahun festival ini terlaksana dengan berbagai penyempurnaan tiap tahunnya. Festival ini merupakan pemberian makanan bagi monyet setempat dengan mengarak gunungan buah dan sayuran.
Kontributor : Anang Firmansyah