SuaraJawaTengah.id - Sidang perkara pidana empat mahasiswa penolak omnibus law memasuki agenda pembacaan putusan oleh Majelis Hakim.
Dalam amar putusannya, Majelis Hakim memutus bahwa keempat Terdakwa penolak omnibus law terbukti bersalah melanggar pasal 216 KUHP dan divonis 3 bulan pidana penjara, namun tidak perlu dipenjara.
Kuasa hukum mahasiswa, Kahar Muamalsyah mengatakan, putusan majelis hakim untuk 4 mahasiswa penolak omnibus law itu bertentangan dengan fakta-fakta yang telah terungkap di persidangan.
"Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan penangkapan yang dilakukan kepada para pejuang demokrasi tetap sah walau tanpa surat tugas dan surat penangkapan karena mereka tertangkap tangan," jelasnya saat ditemui di Pengadilan Negeri Semarang, Selasa (8/6/2021).
Baca Juga:Pemkot Semarang Wajibkan ASN Naik Transportasi Umum, Ini Respon Ganjar Pranowo
Padahal, lanjutnya, fakta persidangan menunjukan yang dilakukan bukan tangkap tangan. Dalam KUHAP tangkap tangan adalah ditangkap saat terjadinya tindak pidana, atau sesaat setelah terjadinya tindak pidana, jadi harusnya tidak ada jeda waktu yang lama.
"Fakta nya IRF ditangkap pada pukul 17.30, NAA ditangkap pukul 23.00 malam di Demak, IAH dan MAM ditangkap ketika hendak mengambil motor sekitar pukul 17.00 lebih," katanya.
Menurutnya, polisi yang melakukan penangkapan kepada mahasiswa tersebut bukanlah saksi polisi yang dihadirkan di persidangan. Dia menyebut saksi polisi berbohong ketika dipersidangan.
"Karena yang menangkap adalah anggota brimob berpakaian lengkap dan sempat melakukan pemukulan kepada IRF saat ditangkap," ucapnya.
Selain itu, mejelis hakim juga menyatakan empat mahasiswa itu sudah didampingi penasehat hukum, padahal faktanya LBH Semarang pada malam ketika terjadi penangkapan sempat membawa surat kuasa akan tetapi ketika mencoba masuk tidak diperbolehkan oleh polisi.
Baca Juga:Bisa Jadi Klaster Baru, Ombudsman Peringatkan Kebijakan Pemkot Semarang Soal Transportasi
"Selain itu, Foto yang ditunjukan oleh saksi dari kepolisian yang menunjukan terdakwa telah didampingi penasehat hukum diambil di hari berikutnya, karena IRF di dalam foto itu sudah mengganti baju dengan warna yang berbeda," imbuhnya.
Dia menyebut, penasihat hukum yang berada di foto adalah penasehat hukum yang ditunjuk oleh polisi sendiri dan tidak melakukan pendampingan saat proses pemeriksaan, tetapi hanya mendampingi esok harinya saat proses tanda tangan BAP.
"Majelis Hakim juga mengaburkan fakta dengan menyatakan tidak terjadi penyiksaan selama proses penyidikan," ucapnya.
Berdasarkan bukti yang dia miliki, empat mahasiswa tersebut ditahan hampir dua minggu. Bahkan, pasehat hukum dan keluarga tidak diperbolehkan menemui meski sekedar untuk video call.
"Untuk video call juga tidak diperbolehkan. Kuasa hukum juga sudah menunjukan bukti foto yang menunjukan kalau 4 korban kriminalisasi memiliki bekas memar ditubuh," paparnya.
Selain itu, fakta persidangan juga menunjukan bahwa keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tidak sesuai dengan keterangan saksi dan terdakwa di persidangan, kemudian terdapat indikasi penyidik kepolisian membuat barang bukti palsu atau memalsukan barang bukti saat proses pemeriksaan.
"Surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang tidak sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh saksi-saksi di persidangan hingga surat dakwaan yang tidak disusun secara cermat oleh JPU," ungkapnya.