SuaraJawaTengah.id - Kota Semerang termasuk daerah legendaris kalau membicarakan masalah sepak bola. Ada sosok penting yang pernah dijuluki sang profesor sepak bola dari Semarang.
Sejarah sepak bola di Kota Semarang, tak bisa terlepas dari salah satu sosok penting Sartono Anwar. Bisa disebut, sepak bola adalah Sartono dan Sartono adalah sepak bola.
Dilansir dari Ayosemarang.com, pria 74 tahun itu kini tampak lebih kurus, rambutnya memutih dan jalannya juga sudah tidak sigap. Saat ditemui untuk berbincang, Sartono Anwar mengajak duduk di tribun Stadion Diponegoro.
Matanya menerawang nanar, memandangi setiap sudut dan rumput hijau terbentang di Stadion Diponegoro. Baginya, Stadion Diponegoro memiliki keistimewaan di salah satu sejarah hidupnya.
Baca Juga:Kompetisi Bergulir, Bos PSIS Semarang: Bisa Bangkitkan Industri Sepakbola
“Ini stadion yang cukup bersejarah bagi Kota Semarang,” terangnya pada Kamis (3/6/2021).
Pesepak bola maupun pelatih di Tanah Air saat ini akan mengamini jika sejarah sepak bola Indonesia juga tak bisa terlepas dari sosok seorang Sartono Anwar, pelatih legendaris di Kota Semarang dan sering dijuluki dengan “Profesor”.
Oleh wartawan kawakan Tabloid Bola Sumohadi Marsis, bahkan pernah menyebut permainan PSIS pada tahun 1987 sebagai “Sartono’s Football” atau yang paling akrab, “Sepak Bola Semarangan”.
Sebutan-sebutan tadi bukan hadir begitu saja, namun dari pembuktian dan kegemilangan Sartono pada tahun-tahun berkarier sebagai pelatih. Salah satu yang paling diingat bagi Kota Semarang adalah ketika Sartono berhasil membawa PSIS Semarang juara Piala Perserikatan pada tahun 1987.
Belakangan saat menghabiskan masa tuanya di Kota Semarang, Sartono mengaku memorinya kerap melayang-layang ke tahun itu. Yang paling menyentil, akhir-akhir ini dia heran kenapa anak-anak asuhnya mau ikut instruksinya.
Baca Juga:Datang Telat, Pemain PSIS Dapat Porsi Latihan Tambahan dari Dragan Djukanovic
“Saya itu dulu kalau melatih suka misuh-misuh. Kasar. Namun tidak tahu kenapa pada nurut. Saya ingin menanyakan itu kalau ketemu mereka,” kata ayah dari asisten pelatih Timnas Indonesia Nova Arianto itu.
Pilih Karier Pelatih
Kala itu sebagai pelatih, usia Sartono terhitung tidak jauh-jauh amat dari para pemain. Pasalnya Sartono mulai melatih pada tahun 1975 di usia 27 tahun. Usia yang bisa dibilang masa-masa emas bagi pemain sepak bola. Namun Sartono memilih jadi pelatih.
“Soalnya sebagai pemain saya nggak bagus-bagus amat,” tambahnya yang selalu identik dengan topi pet.
Kembali ke momen juara tahun 1987, Sartono di awal tahun itu sebetulnya menjabat sebagai manajer. Untuk pelatih kala itu dipegang oleh Cornelis Soetadi.
Posisi pelatih lalu diambil alih Sartono. Saat mengambil posisi itu, Sartono sudah punya ilmu sepak bola modern yang telah dipelajarinya setelah mengikuti berbagai kursus kepelatihan di Eropa.
Ditambah pada tahun 1975-1976 Sartono sempat menjadi asisten pelatih Timnas Indonesia Wiel "the Albert Einstein of Football" Coerver dalam Diklat PSSI di Salatiga.
“Tugas pelatih hanya menunjukan jalan. Semua eksekusinya tergantung pada pemain yang di lapangan,” jelasnya.
Saat melakoni laga final di Stadion Utama Senayan, PSIS termasuk tim yang tidak diunggulkan. Terlebih lawan yang dihadapi adalah Persebaya Surabaya.
Saat itu PSIS diperkuat pemain senior macam kiper FX Tjahyono, Surajab, Rohadi, dan Syaiful Amri. Kemudian ada juga Ahmad Muhariah, Budi Wahyono, dan Adibar Sudaryanto.
Namun di lapangan kenyataan berbeda. PSIS mampu unggul setelah Syaiful Amri pada menit ke-77 mampu menjebol gawang kiper Persebaya yang dijaga Putu Yasa.
Dari Feeling
Sartono menunjuk Adibar Sudaryanto sebagai kapten di partai puncak. Sudaryanto memiliki keistimewaan dalam prosesi bola mati. Saat itu, Sudaryanto dijuluki Ronald Koeman-nya Indonesia.
Disinggung penunjukkan Sudaryanto sebagai kapten, Sartono hanya tertawa lebar. Sudaryanto pun hingga kini masih bingung kenapa seorang Sartono menunjuk dirinya sebagai kapten di partai genting saat mengukir sejarah tinta emas sepak bola Semarang.
Menurut Sartono, tidak ada yang istimewa dari penunjukan Sudaryanto sebagai kapten tim yang akhirnya menjadi juara.
“Yo rak enek alasan khusus, feelingku Dar kui dadi kapten. (Ya tidak ada alasan khusus, feeling saya Dar itu jadi kapten). Ya karena Daryanto lebih dewasa dibanding pemain lainnya saat itu,”ungkap Sartono.
Permainan PSIS pasca-juara dipuji banyak pihak. Selain Sumohadi Marsis tadi, Sartono membeberkan bahwa Ketua PS Jayakarta Hoetta Swet menilai jika permainan Timnas Indonesia harus seperti PSIS.
Mahesa Jenar memang pada tahun itu menunjukan performa yang ciamik. Sartono Anwar menerapkan sepak bola modernnya untuk permainan PSIS.
“Saya pakai permainan pendek merapat. Kalau dulu kan kiblatnya total football kayak Inggris namun saya mengubahnya,” jelasnya.
Satu yang juga menjadi identitas PSIS kala itu adalah julukan “Jago Becek”. Sebab PSIS dinilai selalu bermain garang saat menemui lapangan becek. Namun Sartono menampik hal itu.
“Itu hanya julukan yang dihidupkan oleh media semenjak kami membalikan keadaan ketika bertandang di PSM Ujung Pandang (sekarang PSM Makassar),” ucapnya.
Ada kisah menarik yang Sartono ceritakan seusai pertandingan. Katanya sebelum pertandingan dia meminta Manajer PSIS kala itu yakni Ismangoen Notosaputro untuk memberikan hadiah kepada anak asuhnya jika menjadi juara.
“Saya minta mbok ya anak-anak dikasih hadiah. Motor atau bagaimana. Waktu itu motor belum mahal,” ingatnya.
Namun setelah juara tidak dinyana, Ismangoen malah memberi rumah kepada setiap pemain. Rumah itu sekarang menjadi kompleks Perumahan PSIS yang berada di Jalan Krakatau, Sendangmulyo, Tembalang.
Prestasi Sartono Anwar tentu tidak hanya berhenti di situ saja. Pada tahun 2010 dia berhasil membawa Persibo Bojonegoro juara Divisi Utama dan promosi ke Indonesia Super league (ISL), sekarang Liga 1.
Semua prestasi itu berkat kedisiplinan saat melatih. Bahkan menurut keterangan banyak pemain yang pernah dilatihnya, Sartono selalu datang 1 atau 2 jam sebelum latihan.
Untuk itu Sartono selalu berpesan jika dalam bermain bola harus dibarengi dengan tekad yang kuat. Menurutnya itu adalah prinsip dan prinsip tidak bisa diubah.
“Sebetulnya jadi pemain bola di Indonesia ini mudah. Soalnya musuhnya orang-orang malas,” tutupnya.
Lalu sampai kapan tetap di sepak bola? “Sampai akhir hayat, saya akan tetap di sepak bola, saya mencintai sepak bola dan Kota Semarang,”tegasnya.