SuaraJawaTengah.id - Bulan suro atau dalam islam muharam menjadi waktu yang istimewa bagi orang jawa maupun atau pecinta budaya.
Banyak ritual dilakukan saat bulan suro ini. Kalangan budayawan misalnya, memanfaatkan bulan suro untuk melakukan ritual penjamasan pusaka.
Umumnya penjamasan pusaka dilakukan di rentang waktu antara tanggal satu hingga sepuluh pada bulan Suro (Muharam).
Menyadur Jatengnews.id, Seorang penjamas pusaka di Kota Semarang Ali Tuba Asy’arie mengatakan, bahwa ritual penjamasan pusaka merupakan bagian dari merawat budaya, bukan ritual mistis yang menjurus pada kemusyrikan.
Baca Juga:Mitos Malam 1 Suro dan Bedanya dengan 1 Muharram
“Karena mencintai budaya adalah bagian dari mencintai Indonesia. Sementara generasi muda sekarang ini banyak yang mengabaikan hal-hal semacam ini. Nah karena itu kami berniat ingin melestarikan budaya-budaya itu,” katanya usai melakukan ritual penjamasan pusaka di rumahnya, di Kelurahan Gondoriyo, Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang, Senin (16/8/2021).
Di rumahnya, Ali Tuba juga memiliki pusaka yang pernah ditawar oleh kolektor barang kuno seharga Rp 10 Juta, namun Ia tidak melepasnya. Pusaka itu bernama Tosan Aji, yang Ia dapatkan dari gurunya.
“Dan ini adalah Tosan Aji, senjata dari Damaskus yang saya dapat dari guru saya untuk disimpan di rumah. Dan konon katanya hanya beberapa orang yang memiliki pusaka ini makanya saya rawat seperti ini,” terang lelaki yang juga seorang Pimpinan Majelis Panembahan Saung Cinta dan Gubug Mahabbah tersebut.
Tidak hanya itu, Ia juga mendapat titipan pusaka dari seorang kolektor untuk dirawat. Pusaka dengan nama Keris Petir Langit itu juga berharga fantastis.
“Lalu ini ada pusaka bernama Keris Petir Langit, tahun 1997 pernah ditawar 30 juta rupiah. Sama dengan tadi tidak saya lepas. Kalau sekarang harganya naik sekitar 60 juta, dan saya tidak mau melepasnya,” jelasnya, sambil menunjukkan pusaka Keris Petir Langit.
Baca Juga:4 Potret Terkini Pemain Film Satu Suro, Jauh dari Kesan Horor
Ali Tuba mengatakan dirinya mendapatkan bermacam-macam pusaka tersebut melalui berbagai cara.
“Dari beberapa pusaka di sini ada yang tiba-tiba muncul sendiri tanpa sengaja, kita menemukan saat sedang melakukan ritual semedi. Ada yang memang titipan dari kolektor. Ada juga yang pemberian dari seseorang yang merasa tidak mampu merawat lalu kami bersedia merawat,” ujarnya.
Sampai saat ini Ali Tuba memiliki 150 pusaka, terdiri dari 60 milik pribadi, dan sisanya merupakan titipan dari kolektor untuk dilakukan penjamasan.
Senada dengan Ali Tuba, seorang tokoh agama dan tokoh kebudayaan setempat
Kiai Nur Shodiq mengatakan bahwa pusaka-pusaka tersebut merupakan karya seni yang perlu dirawat untuk mengingatkan generasi berikutnya dengan perjuangan leluhur di masa lalu.
“Merawat pusaka adalah upaya merawat ingatan, sebab pusaka-pusaka ini adalah sebuah karya seni yang sangat agung, yang mana para pembuat pusaka ini melakukan proses panjang, seperti tirakat dan semedi hingga menjadi senjata bagi para pejuang pada zaman dahulu,” jelasnya.