SuaraJawaTengah.id - Sumber energi menjadi masalah pelik dalam kehidupan masyarakat bawah. Tanpa disadari, energi menjadi sumber kehidupan.
Namun demikian, ekonomi masyararakat masih belum merata. Hingga berbagai upaya dilakukan untuk bisa memanfaatkan energi untuk memasak, menjalankan roda transportasi, hingga kegiatan meningkatkan ekonomi.
Ini kisah warga Banjarnegara membangun energi untuk sembagai sumber kehidupan
Sekelompok anak kecil ramai bermain bola di halaman rumah. Salah seorang anak dari mereka berlari menuju teras dan berteriak "Mak, wis mateng ,?" (Ibu, sudah matang?).
Baca Juga:VIRAL LAGI Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono Sebut Gus Dur Picek Alias Buta
Terlihat tiga orang ibu rumah tangga duduk sambil bercengkerama di teras rumah sederhana penuh jemuran tergantung. Di sisi teras terlihat sebuah kompor yang ditumpangi panci kecil.
"Urung, dela maning," (Belum, sebentar lagi) jawab Misnah (40) sambil membuka panci berisi tahu rebus.
Terdengar lirih namun jelas, Misnah dan kedua tetangganya melanjutkan obrolan. Obrolan terdengar seperti keluhan tentang kebutuhan yang harus dipenuhi di tengah pandemi.
Misnah merupakan ibu rumah tangga di sebuah desa bernama Karang Jambe, Kecamatan Wanadadi, Banjarnegara Jawa Tengah. Meski hidup didesa kata orang tak sesulit hidup di kota, namun nyatanya untuk merebus tahu atau sekadar merebus air saja, Misnah dan tetangganya rela mengantre kompor gas.
Kompor gas tersebut bukan dari gas LPG pada umumnya, melainkan merupakan hasil pemanfaatan kotoran sapi yang diolah menjadi gas alami atau biogas.
Baca Juga:Potret Haru dan Gembira Siswi SMP di Banjarnegara Kembali ke Sekolah
Fahrudin, pemilik kompor dan pengelola kotoran sapi sengaja menaruh instalasi gas di depan rumah agar bisa digunakan oleh siapa saja yang membutuhkan.
Fahrudin bersama teman teman peternak sapi di desa yang mempunyai julukan 'kampung silembu' itu mulai mengolah limbah menjadi gas sejak 2013 lalu. Hal itu bermula ketika Fahrudin memulai mencoba beternak sapi.
Fahrudin harus menjual sepeda motor untuk tambahan biaya membeli sapi pertamanya. "Saya dulu sampai jual motor buat beli sapi," kata dia, Selasa (31/8/2021). Kemudian ia dengan peternak sapi di desanya membuat kelompok dan mengembangkan usahanya.
Selang delapan tahun, sapi yang dikelola bersama kini berjumlah 37 ekor, 12 ekor sapi perah dan 25 ekor sapi potong.
"Dari jumlah itu, gas yang dihasilkan bisa digunakan untuk 17 rumah termasuk punya saya. Awalnya baru 11 rumah, kemarin tambah 6 rumah. Idealnya, tiga ekor sapi gasnya buat satu rumah,"
Selama ini, limbah kotoran sapi hanya dimanfaatkan sebagai pupuk. Sementara peternak sapi didesanya tak banyak yang memiliki kebun atau sawah. Sehingga, ia lebih memilih untuk mengolah kotoran sapi menjadi gas. Menurutnya, sumber daya gas saat ini lebih dibutuhkan untuk kehidupan sehari hari.
![Sapi yang dimanfaatkan kotorannya untuk sumber daya gas terbarukan dan ramah lingkungan (Suara.com / Citra Ningsih)](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/08/31/25165-hemat-energi-banjarnegara.jpg)
"Setiap hari butuh untuk memasak, harga gas kan lumayan,"ujar dia.
Untuk menghasilkan gas alami, Fahrudin menyiapkan tempat untuk menampung kotoran dengan kapasitas 20 kubik. Penampung tersebut terpendam dalam tanah persis dibawah kandang sapi. Sehingga ia cukup menyapu kotoran setiap pagi dan sore kedalam lubang yang sudah disediakan.
Kemudian, gas akan keluar melalui pipa paralon yang sudah dipasang ke rumah warga setiap harinya. "Dari awal menaruh kotoran untuk bisa jadi gas butuh waktu 15 hari, tapi karena ini sudah berjalan lama jadi setiap hari bisa menghasilkan gas," jelas dia.
Fahrudin menyebut gas dari kotoran sapi relatif aman dan minim ledakan meski menggunakan instalasi sederhana. Kendalanya, sambungnya, hanya pada aliran gas yang kadang kecil ketika digunakan saat bersama sama.
Susah Membawa Berkah"Ini yang disebut susah membawa berkah, susahnya harus bangun malem malem untuk masak dan berkahnya bisa menghemat gas LPG," ungkap Waryati (58) salah satu pengguna biogas di Desa Karang Jambe. Ia memaklumi bahwa untuk menghemat dirinya harus berjuang dengan memasak di tengah malam.
Namun ketika ia menyalakan kompor biogas di siang hari, nyala api terlihat besar dan biru. "Kalau lagi ndak ada yang pakai ya apinya besar, bahkan saya kalau apinya besar buat goreng takut gosong jadi yang kompor ini seringnya buat merebus, jadi lebih cepat, " Jelas dia.
Ia baru bergabung menjadi pengguna biogas kotoran sapi sejak April lalu dengan membayar Rp 450 ribu. Biaya tersebut digunakan untuk alat dan pemasangan instalasi berupa pipa penyalur gas dan kompor.
Sejak pembayaran awal hingga kini, dirinya tak pernah dimintai retribusi. Gas itu diberikan secara grati kepada masyarakat.
"Dari saya masang sampai sekarang tidak ada penarikan, " Kata dia.
Dengan begitu, ia sudah menghemat 2 tabung gas LPG setiap bulannya. Dari semula biasanya butuh 5 tabung, saat ini hanya 3 tabung.
![Nyala api kompor biogas saat digunakan untuk merebus air. (Suara.com / Citra Ningsih)](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/08/31/23494-hemat-energi-banjarnegara.jpg)
Dirinya masih menggunakan tabung LPG sebagai cadangan jika ia membutuhkan sewaktu waktu. "Buat cadangan waktu saya butuh kepepet dan apinya kecil kan bisa pakai LPG, jadi tetap irit, " Ujar dia.
Nampak selang gas bercabang diatas kompor milik Waryati. Ternyata, selain untuk gas pengganti LPG, gas kotoran sapi juga dimanfaatkan untuk penerangan.
Ia kemudian memutar keran salah satu pipa yang berada diatas kompor. Lalu ia menarik kursi dan menaikinya dengan membawa korek api.
Seketika sarung api petromak menyala dan menerangi satu ruangan. "Saya pakai ini kalau listrik mati, dan kalau pingin lebih hemat listrik juga bisa diganti pakai ini, " Terang dia sambil menunjukkan lampu petromak yang digantung diatap dapur.
Kontributor : Citra Ningsih