Ditetapkan Warisan Budaya Tak Benda, Ini Sejarah Panjang Tempe Mendoan di Banyumas

Ini perjalanan tempe mendoan di Banyumas menurut Budayawan Ahmad Tohari

Budi Arista Romadhoni
Senin, 01 November 2021 | 14:21 WIB
Ditetapkan Warisan Budaya Tak Benda, Ini Sejarah Panjang Tempe Mendoan di Banyumas
Arsip Foto - Mendoan khas Banyumas yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda (WBTb) oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi. [ANTARA/Sumarwoto]

SuaraJawaTengah.id - Pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah resmi menetapkan makanan khas Kabupaten Banyumas, mendoan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb). 

Penetapan mendoan sebagai warisan budaya takbenda ini diumumkan dalam Sidang Penetapan Warisan Budaya Tak Benda 2021 yang digelar di Jakarta pada Selasa-Sabtu (26-30/10/2021) kemarin.

Budayawan Indonesia asal Kabupaten Banyumas, Ahmad Tohari memiliki pandangan tersendiri mengenai panganan berbahan baku kedelai ini. Menurutnya, sejarah mendoan ditemukan secara tidak sengaja oleh warga Kabupaten Banyumas.

"Mendoan itu, produk tidak sengaja tetapi menjadi lebih populer dari produk yang semula dituju, yaitu keripik. Jadi kalau orang mau membuat keripik tempe, itu dibuat dari tempe yang tipis agak lebar, kalau sudah jadi keripik tempe kemudian dicelupkan kepada adonan tepung, dengan bumbu garam dan ketumbar. Adonan itu kemudian dicelupkan lalu digoreng," katanya saat ditemui dikediamannya, Minggu (31/10/2021).

Baca Juga:Bikin Pilu, Ratusan Anak di Banyumas Jadi Yatim Piatu Gegara Covid-19

Untuk menjadi keripik menurut Ahmad Tohari, harus melalui dua tahapan cara menggorengnya. Setelah bahan makanan itu setengah matang, diangkat dahulu dari penggorengan dan didinginkan.

Baru kemudian digoreng lagi untuk proses kedua kalinya sampai kering. Hal itu harus dilakukan dua tahap.

"Dalam keadaan tahap pertama ini, mungkin ada orang yang ngiler kepengin mencoba dan dimakan walaupun itu sebetulnya baru tahap pertama digoreng. Ini yang kemudian menjadi makanan yang dinamakan mendoan," terangnya.

Dari percobaan tersebut, kemudian dikembangkan khusus untuk pembuatan mendoan. Tidak sengaja dari makanan keripik tempe. Namun pada praktiknya mendoan menjadi penuh bumbu seperti, seledri, ketumbar, bawang putih, dan muncang.

"Kata mendo sendiri bisa berarti setengah matang atau lembek dan bisa juga berarti lemah. Misal, kalau orang lembek itu bisa dikatakan, mentalnya jangan mendo. Jangan lemah atau lembek. Jadi kata mendo sendiri sering ditasbihkan kepada orang Banyumas yang suka tidak serius dan mengerjakan sesuatu tidak selesai dengan tuntas," jelasnya.

Baca Juga:Potret Lucu Sandiaga Uno Naik Odong-odong Kunjungi Desa Wisata Cikakak

Meski menjadi satu hal yang tidak bisa terlepas dari Budaya Banyumas, Ahmad Tohari sebagai orang Banyumas asli, mengaku tidak suka orang Banyumas disebut mempunyai mental mendoan. Karena ungkapan tersebut kerap dikaitkan kepada orang yang bermalas-malasan.

Budayawan Indonesia asal Kabupaten Banyumas, Ahmad Tohari di kediamannya, Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas. [Suara.com/Anang Firmansyah]
Budayawan Indonesia asal Kabupaten Banyumas, Ahmad Tohari di kediamannya, Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas. [Suara.com/Anang Firmansyah]

"Wong nyambut gawe aja mendoan aja mendo, ditutugna nganti rampung (orang bekerja jangan setengah-setengah, dikerjakan hingga selesai)," ungkap Ahmad Tohari.

Dahulu kala, ketika Ahmad Tohari muda dan masih indekos di dekat Pasar Wage Purwokerto padan tahun 1962, masih jelas betul dalam ingatannya, terdapat sentra produk keripik tempe dan mendoan. Kebetulan Ahmad Tohari indekos di sebelah rumah pemilik mendoan tersebut.

"Waktu dahulu, sebelah utara Pasar Wage di Jalan Penatusan ada sentra produk keripik dan mendoan. Kebetulan saya kos di sebelah rumahnya sehingga saya mengerti betul proses pembuatannya. Mendoan itu sangat pas sekali dinikmati dengan kopi hitam kental dan cabai rawit atau orang sini menyebutnya nyigit," kata pengarang Novel legendaris Ronggeng Dukuh Paruk ini.

Ahmad Tohari tidak mengetahui persis kapan mendoan ini ditemukan. Namun ia memperkirakan, mendoan ini sudah ada sejak bangsa Indonesia mengenal kedelai lalu membuat tempe. Yang mengajari masyarakat pribumi membuat tempe adalah orang tionghoa.

"Kalau itu acuannya berarti kita sudah mengenal tempe sejak zaman Demak atau abad ke-15. Karena Demak sangat dipengaruhi budaya cina. Raden Patah sendiri kan keturunan cina. Kita sudah mengenal tempe tentu saja olahan turunannya bisa berupa tempe goreng dan bisa jadi mendoan disitu," jelas Ahmad Tohari.

Perajin tempe mendoan sedang memproduksi di Desa Pliken, Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas, Kamis (7/1/2021). (Suara.com/Anang Firmansyah)
Perajin tempe mendoan sedang memproduksi di Desa Pliken, Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas, Kamis (7/1/2021). (Suara.com/Anang Firmansyah)

Meskipun mendoan dikenal sebagai makanan khas Banyumas, namun faktanya, gorengan ini banyak ditemukan di Kabupaten Cilacap, Purbalingga, bahkan Kebumen. Namun Ahmad Tohari berharap, penetapan WTBp ini tidak menimbulkan polemik asal muasal Mendoan.

"Saya kira kalau diklaim makanan khas Banyumas Raya saya mendukung itu. Artinya disini Banyumas bisa berarti Banyumas Raya. Walaupun perwakilan resmi administratifnya orang Pemkab Banyumas, tidak apa-apa. Karena wilayah sebaran budaya banyumas itu empat kabupaten. Bahkan mungkin menjorok ke Kebumen dan Bumiayu, Kabupaten Brebes. Tidak ada perbedaan signifikan dari Mendoan, paling ya variasi bumbu saja," tandasnya.

Kontributor : Anang Firmansyah

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini