SuaraJawaTengah.id - Kasus dugaan pemerkosaan terhadap Novia Widyasari yang berujung bunuh diri, menunjukkan Indonesia darurat kekerasan seksual. Perlu payung hukum yang melindungi hak korban kekerasan seksual.
Staf Divisi Advokasi, Dokumentasi dan Publikasi Sahabat Perempuan, Dian Prihatini mengatakan, Novia Widyasari menderita tekanan batin akibat kekerasan seksual.
Novia dipaksa melakukan aborsi oleh pacarnya, Bripda Randy Bagus Hari Sasongko. Dia mengaku menjadi korban kekerasan secara berulang sejak berhubungan dengan Randy.
“Miris jelas ya. Kenapa baru dikasuskan setelah dia (Novia) meninggal. Menurut beberapa sumber, dia sudah melaporkan tapi tidak ada tanggapan,” kata Dian Prihatini saat ditemui di kantor Sahabat Perempuan, Senin (6/12/2021).
Baca Juga:Temuan Komnas Perempuan: NWR Alami Kekerasan Seksual dari Pacar Sejak 2 Tahun Lalu
Beban Novia semakin berat karena banyak pihak meragukan kesaksiannya sebagai korban pemerkosaan. Hubungan seksual keduanya dianggap didasari rasa suka sama suka.
Menurut Dian, kesaksian korban harus didengar sebagai dasar penentuan kasus pemerkosaan. Kesimpulan terjadinya hubungan seksual yang didasari rasa suka sama suka, dianggap cacat jika diambil dari pendapat orang lain.
“Perkosaan atau bukan, sumber keterangannya harus dari korban. Dia merasa diperkosa atau tidak. Jangan menyimpulkan suka sama suka atas pendapat orang lain. Dianggap korbannya mau-mau saja.”
Dian kecewa penggiringan opini yang mengarahkan kasus ini pada hubungan seksual berdasarkan persetujuan. “Mirisnya bahwa masyarakat mengamini itu. Banyak yang meragukan (keterangan korban). Menuduh ini zina,” ujar Dian.
Sahabat Perempuan meyakini, kasus serupa banyak terjadi di masyarakat. Berdasarkan survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2016, sebanyak 1 dari 3 perempuan pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual.
Baca Juga:Marak Kasus Kekerasan Seksual, Komnas Perempuan Desak RUU PKS Disahkan
Sahabat Perempuan mendesak dibentuk payung hukum yang mengatur penindakan dan pencegahan tindak pidana kekerasan seksual. “Darurat kekerasan seksual ini sudah dari lama. Kami mendesak agar RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual segera disahkan,” kata Dian.
Selain mengesahkan RUU TPKS, kultur masyarakat yang cenderung menyalahkan korban pemerkosaan juga harus diubah. Alih-alih mendapat layanan hukum, korban malah disalahkan atas terjadinya kasus pemerkosaan.
Padahal bagi korban pemerkosaan, bersedia mengungkap kasus saja sudah membutuhkan keberanian yang besar.
“Kami berharap jika ada kasus serupa jangan menyalahkan korban. Jangan menghakimi. Jika kamu tidak bisa mendengarkan, lebih baik diam. Bagi korban untuk speak up saja itu butuh keberanian.”
Mahasiswa Universitas Brawijaya, Novia Widyasari, ditemukan tewas di dekat makam ayahnya, 2 Desember 2021. Diduga Novia bunuh diri akibat depresi karena dipaksa 2 kali melakukan aborsi oleh pacarnya selama 2020-2021.
Novia mengaku dipaksa mengonsumi obat-obatan dan jamu aborsi. Bripda Randy Bagus Hari Sasongko juga memaksa korban berhubungan seksual dengan tujuan menggugurkan kandungan.
Novia diketahui pernah melaporkan kasus dugaan eksploitasi seksual serta pemaksaan aborsi ke Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Komnas Perempuan merujuk Novia agar mendapat layanan di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Mojokerto. Novia sempat menjalani 2 sesi konseling pada bulan November, sebelum memutuskan bunuh diri.
Bripda Randy Bagus saat ini ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Markas Polda Jawa Timur. Randy dikenai sanksi etik dan Pasal 348 KUHP tentang aborsi dengan ancaman hukuman maksimal 5,5 tahun penjara.
“Sekarang dia (Novia) sudah meninggal. Harapan kami pelaku mendapat hukuman setimpal karena ada kejahatan pemaksaan aborsi dan pemerkosaan,” ujar Staf Divisi Advokasi, Dokumentasi dan Publikasi Sahabat Perempuan, Dian Prihatini.
Kontributor : Angga Haksoro Ardi