Terutama saat bulan puasa, langgar ini sibuk dengan berbagai kegiatan ibadah. Ramai anak-anak menginap di langgar sehabis tarawih hingga menjelang sahur.
“Waktu saya kecil, anak-anak sering tidur disitu. Tapi kebanyakan pada takut. Ada yang nakut-nakutin katanya ada ular jengger. Tapi memang agak angker,” kata Totok mengingat masa kecilnya.
Setiap peringatan malam selikuran atau tanggal 21 Ramadhan, keluarga Totok menyajikan tonseng kepala kambing untuk dimakan bersama jamaah sesuai salat tarawih.
Langgar kuno ini dibangun tingkat dua lantai. Langgar bagian bawah berlantai semen pelur yang dihaluskan, sedangkan bagian atasnya berlantai kayu jati.
Baca Juga:Tunggu Aturan Pusat, Kulon Progo Masih Batasi Kapasitas Tempat Ibadah 50 Persen
Kedua bagian langgar dihubungkan tangga kayu di sisi utara bangunan. Teras depan dibatasi pagar kayu yang dilengkapi ukir-ukiran sederhana. Pagar kayu juga diaplikasikan sebagai pembatas pada teras lantai atas.
Toleransi di Langgar Kuno
![[Suara.com/Aldie Syaf Bhuana]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2018/11/01/50206-ilustrasi-toleransi-agama-suku-ras.jpg)
Arsitektur langgar merupakan akulturasi bangunan tipe kolonial dan Jawa. Gaya bangunan kolonial tampak pada pilar-pilar tembok berbentuk persegi yang menopang atap.
Ciri khas bangunan corak Jawa terlihat pada rete-rete kayu berukir yang menggantung mengelilingi seluruh teras langgar. Rete-rete berfungsi sebagai “kulit” kedua yang menyamarkan konstruksi tembok pada bangunan.
Bentuk ruang pengimaman juga merupakan hasil perkawinan model interior Jawa-Belanda. Lengkungan tembok pada tempat masuk ke ruang pengimaman, mengingatkan pada gerbang-gerbang benteng Belanda.
Baca Juga:Kapolri Cek Ketersediaan Minyak Goreng Curah di Kabupaten Magelang, Ini Hasilnya
Namun disini lengkungan dibuat rendah sehingga orang yang masuk harus membungkuk. Model pintu yang menyimbolkan penghormatan tamu terhadap tuan rumah ini sering kita jumpai pada rumah-rumah Jawa.
Gaya interior Jawa lainnya yang menonjol di ruang pengimanan adalah terdapatnya jendela kecil berbahan kayu yang terbuka menghadap kiblat. Selain berfungsi sebagai fentilasi, jendela ini bermakna terhubungnya shalat langsung dengan Ka’bah.
Menurut Totok selain langgar milik keluarganya, di sekitar Dusun Ngrajek III terdapat 3 musala. Salah satunya juga berusia tua. Tapi hanya langgar ini yang terbilang kuno karena belum pernah dipugar dan masih mempertahankan keaslian bangunan.
“Kalau yang lain kan itu tanah wakaf, jadi yang pakai orang banyak. Disini kalau mau renovasi memang dari pihak keluarga saja. Kalau yang lain-lain kan dari masyarakat,” ujar Totok.
Sayang sudah lama sekali azan tak lagi berkumandang di langgar kuno ini. Suara langkah kaki orang-orang tua menaiki tangga dan kecipak anak-anak bermain air di kolam wudhu lama tidak terdengar.
Sekitar 12 tahun belakangan langgar tidak pernah digunakan. “Imam mushola itu meninggal kecelakaan terus belum ada gantinya. Dulu imamnya anaknya Pak Muh, kaum yang rumahnya di seberang jalan.”