Tanpa bermaksud membenarkan tindakan menimpa karya orang lain, aksi spot jocking, throw up dan bombing lumrah ditemui pada komunitas street art.
Meski begitu ada batas-batas yang tetap tidak boleh dilanggar. Paling tidak batasan itu dipegang sebagai etika diri sendiri saat melakukan aksi street art.
Seniman jalanan kritis sekelas Anti-Tank saja memiliki etika pribadi saat menyebar karya poster stensil-nya di tembok-tembok kota (khususnya Yogyakarta).
Anti-Tank misalnya tidak menempel poster stensil-nya di atas karya mural, stensil, graffiti orang lain. Dia tidak menempel poster di tembok tempat ibadah, rambu lalu-lintas, atau dekat kawasan sekolah.
Baca Juga:Perayaan Waisak di Candi Borobudur
Ketua Dewan Kesenian Kota Magelang, Muhammad Nafi mengakui street art memiliki sub kultur tersendiri. Aturan dalam komunitas itu sering ‘lompat pagar’ dari cara pandang umum.
"Jadi kedepan dunia street art itu memang menjadi sub kultur sendiri yang mempunyai dunianya sendiri. Sehingga antar seniman pun terjadi ketegangan. Salah satunya ada throw up, sessing atau saling menutupi,' kata Nafi.
Dia berharap kedepan aksi street art di Kota Magelang bisa dilakukan secara elegan. “Tidak secara umpet-umpetan seperti yang selama ini terjadi. Gambaran besarnya kita mempercantik kota. Mendukung tata kota yang ada.”
![Seniman mural Subki a.k.a SmArt mulai melukis mural di tembok Toko Buku Jaya di Jalan Pajajaran, Kota Magelang [Suara.com/ Angga Haksoro Ardi]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2022/05/24/60195-mural-magelang.jpg)
Sesi Mural 'Ayo Rukun'
Dari atas tangga setinggi 5 meter, Subki melakukan tarikan pertama kuasnya. Menutup bidang polos pada tembok sisi luar Toko Buku Jaya.
Baca Juga:Pelajar di Kota Solo Kepergok Lakukan Aksi Vandalisme, 1 Orang Ditangkap, 2 Orang Melarikan Diri
Di tembok 2 lantai sepanjang 15 meter itu, sekitar 28 perupa jalanan berbagi ruang kreasi.