"Rencana saya gambar Superman sama Gatotkaca. Gatotkaca yang merupakan budaya Indonesia dan Superman budaya luar. Itu saling berdampingan. Rukun. Nggak ada perbedaan," kata Subki yang memiliki nama jalanan “SmArt”.
Dia tak membantah karyanya yang ditimpa di Jalan Kalimas, Senowo menjadi bagian dari risiko menggambar di jalanan. Dia menyadari saling timpa hasil karya umum terjadi pada komunitas street art.
Tapi bukan berarti street art ala barat bisa ditelan mentah-mentah begitu saja. Etika, rasa saling menghormati sesama seniman jalanan masih berlaku bagi kita orang timur.
"Kita lestarikan budaya kita juga. Nggak usah saling gontok-gontokan lah. Kita damai dalam berkarya itu lebih nyaman. Lebih tenang. Kalau di barat kayak gitu (street art), pinginnya di Indonesia jangan kayak gitu."
Baca Juga:Perayaan Waisak di Candi Borobudur
Kegiatan menggambar bersama di tembok Toko Buku Jaya sebagai upaya menengahi ketegangan para perupa jalanan. “Mencairkan ketegangan yang ada di dunia,” kata Ketua Dewan Kesenian Kota Magelang Muhammad Nafi.
Menurut Nafi ini tidak hanya megendurkan syaraf dunia mural yang sedang kenceng di Kota Magelang. Dunia medsos hari ini juga sangat tegang akibat polarisasi politik, residu Pilpres 2014 dan 2019.
"Kami memberi contoh bagiamana kita menyelesaikan masalah dengan elegan. Perlu pakai bahasa-bahasa yang lebih indah. Seni jawabannya dari ketegangan-ketegangan dunia ini."
Jalan Tikus Kampung Kota
Soal saling timpa karya mural dan graffiti di jalanan seharusnya tidak terjadi. Menurut Nafi masih banyak spot tembok kosong di Kota Magelang yang bisa digambari.
Baca Juga:Pelajar di Kota Solo Kepergok Lakukan Aksi Vandalisme, 1 Orang Ditangkap, 2 Orang Melarikan Diri
Termasuk cita-cita mengubah Jalan Jenggala dari timur RSU Tidar hingga pertigaan Fantasia menjadi lorong mural. Mengubah jalan itu menjadi koridor mural Kota Magelang.