Bersama 9 lurah lainnya yang juga terdata sebagai anggota PPDI, Darmoredjo ditahan selama 1 minggu di kantor Kecamatan Sawangan.
Mereka kemudian lanjut ditahan 2 minggu di markas kesatuan Zeni Tempur (Zipur) di Kota Magelang.
Setelah ditahan 21 hari, para lurah yang dituduh terlibat PKI ini dipulangkan ke rumah masing-masing. "Tapi di rumah, jabatan Lurah sudah dipegang oleh Sekretaris Desa sebagai pejabat sementara."
Enam tahun lamanya Darmoredjo menunggu kejelasan statusnya sebagai Lurah Wonolelo. Camat Sawangan saat itu kemudian menyarankan Darmoredjo untuk membuat surat permohonan berhenti dengan hormat.
Baca Juga:Menilik Kompleks Kamp Plantungan Tahanan Perempuan yang Dianggap Gerwani Era PKI
Di kantor kabupaten, nama Darmoredjo masih tercatat sebagai Lurah Wonolelo. Namun karena jabatannya sudah diduduki sekdes, statusnya menjadi tidak jelas.
Tahun 1971 Darmoredjo mengajukan permohonan berhenti dengan hormat. Surat permohonan pemberhentian dengan hormat diluluskan Bupati Drs H Achmad.
"Jadi bapak itu kalau dianggap tersangkut (PKI) statusnya juga tidak tahu. Cuma masuk anggota Persatuan Pamong Desa itu maka dikatakan bernaung dibawah PKI."
PPDI sendiri semula wadah organisasi para pamong desa yang tidak condong pada afiliasi politik manapun. Hingga tahun 1951, Partai Komunis Indonesia mengakuisisi PPDI dan mengklaimnya sebagai bagian dari organisasi sayap politik mereka.
Banyak dari anggota tidak mengetahui secara pasti hubungan antara PPDI dengan PKI.
Baca Juga:Kabar PKI Siapkan Rp5 Triliun Demi Muluskan Jokowi 3 Periode, Cek Faktanya
Begitu peristiwa September 1965 pecah di Jakarta, nama-nama mereka yang tercantum sebagai anggota, diciduk, ditahan, dan dirampas haknya secara sewenang-senang.
Lolos dari Kejaran Tentara
Kami menemui Mbah Sodimedjo di rumahnya di Desa Wonolelo. Bercelana pendek, mengenakan baju kombor hitam khas petani, lelaki berusia 94 tahun duduk di teras sendirian.
Salah seorang kenalan yang ikut mengantar menemui Sodimedjo berpesan untuk lebih mendekat jika ingin mengucapkan sesuatu. Usia pelan-pelan menggerogoti kemampuannya mendengar.
Orang-orang dekat memanggil Mbah Sodimedjo dengan sebutan Pak Tuo. Sebutan itu disematkan sebagai penghormatan kepada tokoh masyarakat yang disegani.
Selain berusia sepuh, Pak Tuo dihormati karena memiliki keahlian menabuh gamelan.