Memadamkan Mercon di Hari Raya, Tradisi Usang Bertaruh Nyawa

Menjelang Lebaran tahun 2023, di Kabupaten Magelang saja terjadi 2 kali insiden ledakan mercon berskala besar. Kejadian serupa terulang di Kendal dan Kebumen.

Ronald Seger Prabowo
Selasa, 25 April 2023 | 14:02 WIB
Memadamkan Mercon di Hari Raya, Tradisi Usang Bertaruh Nyawa
Polresta Magelang menyita 552 kilogram bahan pembuat petasan. [Dok. Polresta Magelang]

SuaraJawaTengah.id - Menyulut mercon di puncak perayaan Lebaran bagi sebagian orang bagai tak terpisahkan. Tradisi yang kadang harus ditebus nyawa. 

Menjelang Lebaran tahun 2023, di Kabupaten Magelang saja terjadi 2 kali insiden ledakan mercon berskala besar. Kejadian serupa terulang di Kendal dan Kebumen.

Pusat ledakan di Magelang berasal dari rumah Mufid (33 tahun), warga Dusun Junjungan, Desa Giriwarno, Kecamatan Kaliangkrik.

Ledakan diduga terjadi saat Mufid sedang meracik 7,5 kilogram campuran potasium nitrat, sulfur, dan brom (serbuk alumunium) menjadi bahan inti petasan.

Baca Juga:Mengerikannya Dampak Ancaman Peneliti BRIN Sebut Hahal Darah Warga Muhammadiyah, Reza Indragiri: Merekrut Calon Pelaku

Akibat ledakan, Mufid ditemukan tewas di tempat dalam kondisi mengenaskan. Dua orang tetangganya, Nurhayah (41 tahun) dan Naila Janur (17 tahun) dilarikan ke rumah sakit karena luka dan trauma.     

Besarnya kekuatan ledakan menyapu 34 rumah di sekitar lokasi kejadian. Kerugian akibat kerusakan rumah sedang hingga berat ditaksir mencapai Rp500 juta.

Polresta Magelang langsung melakukan operasi besar, merazia lokasi yang disinyalir menjadi tempat meracik petasan. Hasilnya, 3 orang ditangkap beserta bukti setengan ton bahan mercon.

Operasi masif ini berhasil mengurangi eskalasi penggunaan petasan di puncak hari raya Idul Fitri, 22 April 2023. Meski di beberapa daerah suara ledakan mercon masih sesekali terdengar.

Dari Cina Dilarang di Batavia

Baca Juga:H+3 Lebaran, 42 Ribu Pemilir Tiba Di Jakarta

Aturan larangan membuat dan menyulut petasan sudah ada sejak masa kompeni. Pemerintah yang disokong persekutuan dagang Belanda di Batavia, melarang warganya menyundut petasan.

Hampir setiap tahun penguasa VOC menerbitkan larangan membakar mercon. Larangan diperketat terutama semenjak tembok Kota Batavia selesai dibangun tahun 1650-an.

Aturan anti membakar petasan biasanya berlaku selama Desember, Januari, hingga Februari. Saat kebanyakan warga Batavia merayakan rangkaian tahun baru dan Imlek.

Mayoritas rumah-rumah di Batavia masa itu menggunakan bahan bambu dan kayu. Euforia warga menyulut petasan dikhawatirkan memicu terjadinya kebakaran.

Upaya melarang penggunaan petasan oleh VOC tidak pernah sepenuhnya berhasil. Buktinya, hingga kini mercon masih dibuat dan disulut di kampung-kampung.   

Penggunaan petasan pada masa kolonial tidak terbatas pada perayaan tahun baru dan Imlek. Orang Betawi juga menyundut petasan saat Lebaran, pesta menyambut pegantin, hingga mengantar orang pergi haji.

Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin (Lesbumi) Kabupaten Magelang, Abet Nugroho. [Suara.com/ Angga Haksoro Ardi]
Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin (Lesbumi) Kabupaten Magelang, Abet Nugroho. [Suara.com/ Angga Haksoro Ardi]

Dikenal di Cina pada abad 9, petasan diangkut menyebrang ke Nusantara sekitar abad 15. Rombongan dagang negeri Tiongkok membawa petasan bersama barang dan bahan makanan yang semula asing bagi para pribumi.

Petasan kemudian diadopsi oleh orang lokal, sama seperti lidah mereka yang belajar akrab mencicip aneka mie, serta memakai teko dan sendok bebek sebagai perkakas makan.  

Menurut Sekretaris Dewan Kesenian Kota Magelang, Danu Wiratmoko, pembuatan mercon di Cina masa itu tidak hanya untuk kebutuhan perayaan tradisi.

Para pedagang dan pendatang dari Cina juga mengenalkan teknik meracik mercon untuk kebutuhan membuat bahan peledak.

“Masyarakat Indonesia juga memakai mercon untuk dibuat dinamit melawan penjajah. Ada beberapa catatan di jaman Majapahit (mercon) itu sudah ada,” kata Danu.

Sebagai tradisi, petasan berkembang menjadi sarana mengekspresikan diri. Biasanya berkaitan dengan cara masyarakat meluapkan rasa senang, gembira, atau kemenangan.

Tidak aneh jika kemudian tradisi petasan lekat dengan perayaan Lebaran. “Utamanya saat (perkembangan) Islam mulai kuat di Nusantara.”

Petasan dan Candu Adrenalin

Bagi penderita fonopobia (sindrom takut terhadap suara keras), ledakan petasan bisa menimbulkan dampak yang parah. Penderita didera ketakutan, kepanikan, dan kecemasan ekstrem.  

Tapi bagi penggemar petasan, suara ledakan yang memekakkan telinga justru menimbulkan sensasi kegembiraan bak candu.

Secara alamiah manusia mengalami banjir hormon adrenalin usai terkejut mendengar suara ledakan. Reaksi spontannya, otak mengirim sinyal bahaya yang meningkatkan kewaspadaan tubuh atau lari menjauh sumber bunyi.

Saat letusan adrenalin di otak mereda, syaraf mengirim sinyal relaksasi ke seluruh bagian tubuh. Efeknya, muncul rasa puas dan kegembiraan.

“Tradisi orang Jawa itu marem kalau krungu (dengar) suara keras. Memang sudah dari sananya begitu. Bisa dilihat saat orang hajatan. Kenapa kita pasang speaker keras-keras,” ujar Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin (Lesbumi) Kabupaten Magelang, Abet Nugroho.

Karena sudah menjadi kebiasaan turun temurun, tradisi menyulut petasan saat Lebaran tidak mudah begitu saja dihilangkan. Butuh proses panjang mengenalkan alternatif bunyian lain pengganti suara petasan.     

Abet menawarkan bedug dan kentongan menjadi sumber suara keras pengganti petasan.

Masyarakat Islam Nusantara sudah sejak lama mengenal bedug dan kentongan. Kedua instrumen bunyi ini pernah menjadi alat komunikasi antar warga.

“Alat musik ini dipakai oleh para wali menjadi bukan hanya perangkat ibadah, tapi juga metode siar keagamaan yang indah. Musikal dan punya makna tertentu.”

Suara bedug dan kentongan bisa menjadi alat ekspresi khas masyarakat Nusantara, menggantikan suara ledakan petasan yang mengganggu.

Sayang kata Abet, di banyak masjid dan mushola saat ini bedug dan kentongan sudah tidak pernah dibunyikan. Remaja dan anak-anak tidak lagi diizinkan menabuh bedung dan kentongan di masjid.

“Seharusnya dibolehkan. Letak kentongan dan bedug itu bukan di dalam masjid tapi di teras. Ini adalah perangkat budaya. Sehingga anak muda yang semula ngumpul tidak jelas membakar petasan, tertarik kembali ke masjid.”

Menjinakkan Tradisi Mercon

Lebih jauh lagi, Sekretaris Dewan Kesenian Kota Magelang, Danu Wiratmoko menyebut larangan membakar petasan harus dibarengi langkah lainnya.

Melarang warga membuat petasan tanpa mengawasi distribusi potasium nitrat, sulfur, dan serbuk alumunium, bagai upaya memukul angin.

Bahan-bahan ini termasuk produk legal yang boleh diperjual belikan serta mudah ditemui di pasaran.

Potasium dipakai sebagai bahan pokok industri cat atau bahan pewarna. Bahan ini mudah meledak jika terkena gesekan atau panas.

Sulfur atau bubuk belerang sering dijumpai pada bahan dasar kosmetik atau obat kulit. Sedangkan serbuk alumunium dipakai sebagai media penghantar arus pada perangkat elektronik.

Semua bahan mudah terbakar itu jika berada di tangan orang amatir dan minim pengetahuan kimia, bisa berubah menjadi bencana.

“Yang memproduksi bahan mercon itu kan campuran. Bahan-bahan itu (bahan dasar pembuat petasan) bisa digunakan untuk hal baik.”

Masih soal pengawasan penggunaan bahan mercon, Danu Wiratmoko menyebut wacana menggelar festival khusus menyalakan petasan secara legal namun terbatas.

Wacana ini mungkin bisa menjadi jalan tengah mengatasi situasi nyaris mustahil memadamkan total tradisi menyundut petasan.

“Sulit menghilangkan. Tapi kalau mau, membuat tradisi yang diorganisir. Ada pembatasan, pengawasan. Dibatasi pembelian potasium maksimal berapa. Memang agak rigid (kaku) nantinya.”

Festival perang petasan dan meriam karbit pernah diadakan di jembatan Sungai Melawi, Kalimantan Barat. Baru tahun ini acara itu dilarang aparat keamanan dan pemerintah setempat.

Alasannya, tradisi perang petasan dan festival meriam karbit menimbulkan kerumunan yang menyebabkan gangguan keamanan.

Beda dengan Pemerintah Kota Pontianak yang tetap mengizinkan festival meriam karbit memeriahkan perayaan Idul Fitri 1444 H.

Karbit atau senyawa kimia kalsium karbida (CaC2) sering digunakan untuk bahan mengelas besi dan baja. Gas yang terkumpul dalam tabung kayu, hasil reaksi mencampur karbit dengan air menimbulkan dentuman keras jika disulut api.

Kayu yang sering digunakan menjadi meriam biasanya jenis mabang atau maranti. Kayu keras ini dililit rotan agar tidak pecah saat gas karbit meledak menghasilkan suara menggelegar.

Tradisi menyulut meriam karbit di Pontianak Kalimantan Barat, tercatat sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.  

Memang petasan lebih berbahaya dari karbit. Meski berkategori low eksplosif, racikan potasium, bubuk belerang, dan serbuk alumunium dalam jumlah besar bisa berakibat fatal.  

Penanganan karbit dan petasan juga tidak bisa disamakan. Tapi tanpa upaya serius menangani tradisi mercon -hampir- dipastikan daftar panjang para korban setiap tahun hanya jadi deretan statistik orang-orang yang kehilangan nyawa sia-sia.

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini