SuaraJawaTengah.id - Stigma negatif menjadikan para anak muda enggan mencari rejeki dari hasil laut. Sama halnya dengan Petani, profesi Nelayan juga tak memiliki daya tarik bagi generasi saat ini.
Kebanyakan pemuda kurang tertarik lagi dengan dunia maritim atau 'ekonomi biru' dan lebih memilih menjadi karyawan swasta atau merantau.
Muhammad Lintang, pemuda berusia 23 tahun dari pesisir Mangunjarho, Mangkang, Kota Semarang membenarkan fenomena itu. Di kampungnya, para pemuda banyak yang memilih kerja sebagai karyawan, termasuk kakaknya.
"Kakak lebih pilih kerja. Punya idealis sendiri. Nggak apa," kata Lintang di Semarang, Rabu (13/9/2023).
Baca Juga:Keseruan Nelayan Lamongan Rayakan Festival Kemerdekaan: Ada Pentas Seni Hingga Bazzar UMKM
Dari pengalamannya bertanya kepada pemuda pesisir lainnya, masih banyak yang gengsi untuk mengelola hasil laut seperti menjadi petani tambak atau nelayan.
Namun dirinya tetap bertekad meneruskan usaha ayahnya sebagai petani tambak di pesisir.
"Saya 23 tahun hidup begitu dengan bapak dan juga merasakan susahnya jaga lingkungan," ujarnya.
Lulusan jurusan Ilmu Komputer UNNES itu berharap bisa memajukan ekonomi pesisir di wilayahnya. Selain sebagai petani tambak, dia juga ingin membuat aplikasi yang nantinya berguna meningkatkan penghasilan dari pemanfaatan hasil laut.
"Kuliahnya itu komputer. Ya ke depan ingin buat aplikasi buat bantu jual," katanya.
Baca Juga:Tingkatkan Kesejahteraan Nelayan, KNP Turut Ramaikan Pesta Laut Nadran
Sebagai anak pesisir yang ingin meneruskan usaha ayahnya, ternyata ada tantangan dari kondisi iklim dan abrasi.
Ia menjelaskan saat ini masih melakukan budidaya udang, bandeng, dan mangrove. Namun untuk udang dan bandeng ternyata makin sulit.
"Sekarang udang, bandeng, dan tanam mangrove. Untuk budidaya bandeng dan udang mungkin tidak diteruskan karena kondisi iklim dan abrasi. Sekarang coba fokus ke pembibitan mangrove," jelas Lintang.
"Mangrove itu kalau batang untuk pengasapan, untuk ikan panggang gitu. Buah bisa jadi kripik, jeli, brownis. Daun digiling untuk pakan ternak," imbuhnya.
Ia berharap dengan Pelatihan Pemuda Maritim yang digelar Kemenpora tersebut bisa mendapatkan ilmu dan menyebarkan ke rekan-rekannya. Tidak hanya soal manfaatkan hasil laut tapi juga melindungi lingkungannya.
"Ini cari ilmu dan nanti sebarkan ilmu, untuk menyadarkan pemuda bahwa di lingkungan sekitar perlu dilindungi, karena tanah sudah abrasi. Kalau nggak ada yang muda kan kasihan," ujarnya.
Staf Ahli Bidang Inovasi Kepemudaan dan Keolahragaan Pit. Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda Kemenpora, Yohan mengatakan pelatihan yang digelar di Semarang yang merupakan kota pesisir itu diharapkan bisa membuka ilmu soal Maritim baik dari pemanfaatan hingga saat menghadapi bencana.
"Bagaimana berdayakan pemuda kita terhadap potensi terkait kelautan dan pesisiri di sekitar kita, bagaimana bisa hadapi bencana. Kenapaa pemuda yang kita ambil, karena pemuda ini yang akan memegang estafet kepemimpinan. Mampu memimpin bangsa ini di masa yang akan datang terutama menghadapi Indonesia Emas 2045," jelasnya.
Terkait berkurangnya minat pemuda pesisir untuk meneruskan profesi khas pesisir, menurut Yohan karena masih ada stigma nilai ekonomi yang kurang.
Maka dengan pelatihan yang digelar dan diikuti sekitar 100 peserta itu, diharapkan bisa memicu inovasi para pemuda meningkatkan nilai ekonomi dari laut atau ekonomi biru, termasuk dari sisi wisata.
"Nelayan kan dianggap ekonominya kurang. Makan dengan pelatihan ini diharapkan tahu nelayan itu bukan tidak menjanjikan. Potensi di pesisir bisa diberdayakan, tidak hanya cari ikan tapi diberi nilai tambah. Jadi dijual tidak hanya per kilo, tapi ketika diberdayakan bisa untuk penghidupan. Misal rumput laut sekilo Rp 20 ribu. Ketika diolah jadi Karagenan atau produk itu jadi sekilo bisa Rp 200 ribu. Apalagi Karagenan ini bisa jadi kosmetik dan produk obat. Sehingga petani bisa berdayakan tidak hanya bahan mentah," jelas Yohan.