SuaraJawaTengah.id - Negara fiktif yang dikenal melalui film dari studio Marvel, Wakanda kembali terdengar saat debat pertama capres pada Selasa (12/12/2023) malam. Calon presiden nomor urut 1, Anies Baswedan, yang kembali membawa negeri fiktif di benua Afrika itu ke panggung debat.
Hal itu diungkapkan Anies saat menyampaikan komitmennya untuk menegakkan hukum di Indonesia. Tak terkecuali menjamin kebebasan berpendapat jika nantinya terpilih sebagai presiden.
"Kebebasan berpendapat dijamin dan kita tidak izinkan orang takut. Wakanda no more, Indonesia forever," kata Anies saat debat Selasa malam.
Pakar politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arya Budi menilai ucapan itu bagian dari sindiran atau satir tidak langsung untuk menyinggung kondisi di Indonesia sekarang. Bahkan statement tentang kebebasan pendapat pun sudah dinarasikan beberapa kali selama debat.
"Dia beberapa kali kan menyampaikan statement soal kebebasan berekspresi, dia menyampaikan beberapa kasus, ada ketua BEM, budayawan, kemudian ada semacam intimidasi dan seterusnya yang intinya adalah untuk menyampaikan ekspresi di pemerintahan Jokowi itu dianggap cukup bebas. Itu poin penting, sepanjang debat dia cukup banyak menyinggung itu," kata Arya, saat dihubungi Rabu (13/12/2023).
"Kalau terkait dengan kutipan soal wakanda lebih banyak menyindir soal kebebasan berpendapat berbicara berekspresi yang menurut dia menurun atau tidak bagus sepanjang pemerintahan Jokowi," imbuhnya.
Arya tak memungkiri bahwa memang penting bagi seluruh capres untuk mempromosikan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Terlepas dalam kasus ini Anies berkepentingan untuk menjatuhkan lawan politiknya terkhusus Prabowo Subianto yang terasosiasi kuat dengan Jokowi.
Namun, menurutnya ada yang lebih penting dari sekadar sindiran atau statement politik itu. Bukan label wakanda yang muncul pula tapi negara fiktif itu muncul sejak awal padahal seharusnya tak perlu ada.
"Tidak ada kebutuhan untuk melabelkan Indonesia dengan label fiktif, yang sebenarnya semua orang tahu itu Indonesia. Jika memang orang tidak mempunyai kekhawatir atas nasib dia jika dia mengekspresikan sesuatu terkait dengan negara dia sendiri," ungkapnya.
"Maksud saya gini, wakanda no more jangan-jangan nanti akan ada konoha atau negeri fiksi lainnya akan muncul. Ya jadi label-label itu hanya kiasan untuk mejelaskan bahwa sebagian pihak merasa insecure merasa tidak aman jika mereka mengekspresikan pendapatannya apalagi mengkritik pemerintah," tambahnya.
Siapapun presiden nanti seharusnya memang harus menjamin kebebasan berpendapat itu tetap hidup. Termasuk untuk memastikan tidak ada pembantu institusi yang melakukan intimidasi atau tindakan lain untuk mengekang kebebasan berekspresi warganya.
Warga kemudian bisa kemudian berpendapat atau melontarkan kritik kepada pemerintah jika merasa tidak puas dengan kinerja yang dilakukan. Tanpa kemudian takut hingga memunculkan label fiktif untuk Indonesia.
"Semua orang mau ngomongin Indonesia kurang bagus ya ngomong aja gitu, mau ngomong soal penegakan hukum gak mutu ya sampaikan saja atau KPK kemudian diamputasi ya sampaikan saja. Itu substansial karena apapun labelnya kalau orang tetap merasa takut ya selain wakanda nanti akan berganti label lagi jadi masalah tidak selesai," tuturnya.
Arya mengakui memang tidak ada yang bisa menjamin kebebasan berpendapat itu terwujud. Termasuk tiga capres yang semalam berdebat dan sudah berkomitmen terkait kebebasan berpendapat itu.
Namun setidaknya ada satu satu instrumen yang bisa digunakan untuk memegang komitmen itu. Dalam hal ini yakni melihat rekam jejak masing-masing capres selama memegang jabatan publik.
"Misalnya apakah dia pernah mempolisikan orang karena ada yang menyinggung nama dia atau rekam jejak lainnya selama di jabatan publik. Itu salah satu instrumen untuk memverifikasi komitmen. Apabila rekam jejaknya cenderung bersih biasanya ke depan juga mempunyai kemungkinan untuk konsisten meskipun tidak ada jaminan untuk itu," pungkasnya.