Salah satu tokoh yang paling gigih memperjuangkan desentralisasi di tanah koloni adalah anggota parlemen Belanda, Conrad Theodor Van Deventer.
Dikenal sebagai juru bicara gerakan politik etis, Van Deventer yang juga pengacara, beberapa kali pergi dan tinggal di Hindia Belanda untuk berbagai tugas hukum dan penelitian.
Antara tahun 1882 hingga 1885, Van Deventer pernah ditugaskan menjadi Dewan Tanah di Ambonia dan Dewan Kehakiman di Semarang.
Di Netherland, Deventer banyak menulis tentang kondisi rakyat Hindia Belanda yang hidup melarat. Kebanyakan artikel dimuat koran De Locomotief, media corong para pendukung politik etis.
Baca Juga:Heboh karena Dikunjungi Jokowi dan Prabowo, Ini 5 Fakta Unik Bakso Pak Sholeh Magelang
Mewakili Free Thinking Democratic League di kursi parlemen Belanda, Deventer dikenal dekat dengan para tokoh pendukung politik etis. Mereka banyak mengritik kebijakan pemerintah di Hindia Belanda.
Van Deventer yang pertama kali menyatakan Belanda memiliki “utang kehormatan” kepada rakyat Hindia Belanda sebesar 190 juta gulden. Utang itu didapat dari bertahun-tahun mengekploitasi bumi manusia nusantara.
Dia juga yang mendesak penyerahan kekuasaan administratif negara kolonial kepada penduduk Hindia Belanda. Orang Belanda harus membatasi campur tangan –hanya- pada hal yang bersifat prinsip pemerintah.
Meski mendukung peningkatan derajat hidup rakyat negara jajahan, sikap Van Deventer sering dianggap ambigu.
Deventer masih mendukung penggunaan kekuatan militer untuk “mendisiplinkan” beberapa wilayah Hindia, dan turut menandatangani telegram penangkapan Panglima Polim oleh Gubernur Jenderal J.B Van Heutsz.
Baca Juga:Mengingat Kembali Kisah Johannes Van Der Steur, Kompeni Belanda Asuh Ribuan Anak di Magelang
Selain menjadi pengacara dan anggota parlemen, Conrad Theodor van Deventer juga anggota milisi sipil Belanda (schutterij) berpangkat Letnan Satu.