"Jadi berimbas ke daya beli pakaian di Amerika, Uni Eropa, bahkan Jepang," ujar Jemmy.
Penyebab lain, menurut Jemmy, adalah konflik geopolitik seperti terjadi di Ukraina dan Rusia turut memengaruhi mandeknya pasar tekstil dunia.
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, tambah Jemmy, turut berperan membuat ongkos belanja bahan baku menjadi lebih mahal lantaran sebagian besar masih impor.
Namun, kata Jemmy, penyebab terbesarnya ketika Kementerian Perdagangan merombak Permendag nomor 36 tahun 2023 yang terkait dengan aturan pertimbangan teknis (pertek).
Baca Juga:Cegah Stunting dan Pernikahan Dini, Pemprov Jateng Fokus Wujudkan Keluarga Berkualitas
Akibat Permendag itu, Jemmy menilai aturan mengenai impor direlaksasi.
Sederhananya, tidak ada lagi tata cara penerbitan Pertimbangan Teknis (Pertek) sebagai syarat memperoleh Persetujuan Impor (PI) bagi pengimpor umum untuk komoditas pakaian jadi, alas kaki, besi, baja, obat tradisional, kosmetik, dan elektronik.
Padahal Pertek itu, klaimnya, merupakan bentuk proteksi atau perlindungan bagi industri dalam negeri agar tetap bertahan di pasar domestik.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan berdalih merevisi Permendag nomor 36 tahun 2023 menjadi Permendag nomor 8 tahun 2024 karena adanya penumpukan kontainer barang impor di sejumlah pelabuhan.
Jemmy menyebut penumpukan kontainer itu ada yang berisi pakaian jadi dari China. Pasalnya, industri tekstil China sudah kembali berjalan begitu pandemi Covid-19 melandai.
Baca Juga:Vasektomi Picu Kanker Prostat? Ahli Bongkar Faktanya
"China itu negara produsen tekstil terbesar, mereka menjadi kelebihan kapasitas. Nah kelebihan produksi itu berimbas ke mana? Ke negara yang lemah dalam penerapan trade barrier [hambatan perdagangan] yaitu Indonesia," sambungnya.