Di atas tahun 2000, air rob sudah mulai masuk sehingga areal persawahan mulai tidak subur. "Tanaman banyak yang kuning, tidak lagi subur," katanya.
Saat itu, banyak warga yang kemudian alih profesi dari petani ke penambak udang putih (panami), karena dianggap lebih menggiurkan.
"Dua bulan, panen udang panami bisa menghasilkan Rp 20-25 juta," kata Shobirin.
Dengan adanya alih fungsi lahan, lingkungan pun makin rusak. Saat itu bertepatan dengan adanya reklamasi di Tanjung Emas Semarang, sehingga rob makin cepat masuk desa.
Baca Juga:Banjir Terus, Pemkab Demak akan Bangun Rumah Pompa atasi Rob di Sayung
"Jangka lima tahun, tambak sudah tidak lagi menghasilkan karen tertutup rob," katanya.
Masa tersulit yang dihadapi warga Dukuh Timbulsloko adalah enam tahun terakhir ketika rob sudah menenggelamkan desa. Akses jalan antar-rumah terputus oleh rob sehingga aktivitas warga lumpuh total.
"Jemaah salat kadang tidak ada, tahlilan sepi, anak yang berangkat sekolah kesusahan, bahkan menguburkan orang meninggal juga sulit," ungkap Shobirin.
Pada 2019, dirinya menginisiasi pembangunan jembatan atau jalan gladak yang menghubungkan antar-rumah. Jalan sepanjang 1,5 km meter itu dibangun dengan swadaya masyarakat sebagai upaya menghidupkan aktivitas sosial-keagamaan.
"Dukuh yang sempat mati akhirnya hidup kembali. Namun, di sebelah barat sana sudah banyak yang pindah, dan dikenal sebagai kampung mati," tuturnya.
Baca Juga:Geger Parade Sound System Rusak Jembatan, Polisi Tangkap 9 Orang Termasuk Kades
Shobirin dan 200-an warga lainnya berharap banyak kepada pemerintah untuk bisa mengatasi bencana abrasi ini.