SuaraJawaTengah.id - Nuzmatun Malinah tak kuasa menahan tangis saat menceritakan kasus perundungan yang menimpa anaknya, Dokter Aulia Risma Lestari, mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) di RSUP Dr. Kariadi Semarang, Rabu (18/09/2024) malam.
Rasa sakit kehilangan putrinya itu, masih jelas terlihat. Bibirnya berat mengungkapkan kisah yang membuatnya terluka. Namun, demi mencarikan keadilan untuk anaknya, sepenggal kata demi kata tentang Dokter Aulia, dia rangkai untuk menjadi cerita.
Cerita dimulai pada 2022 ketika Dokter Aulia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi ke PPDS Anestesi Undip. Itu merupakan cita-cita dia sedari dulu ketika menjadi Dokter Umum di RSUD Kardinah Tegal.
Aulia tahu menggapai cita-cita memang tidak mudah. Namun, hal yang tidak pernah dia bayangkan adalah lingkungan pendidikan PPDS Anestesi Undip di RSUP Dr Kariadi yang terlampau tak manusiawi.
Baca Juga:Skandal Perundungan Guncang PPDS Undip-Kariadi, DPR: Tata Kelola Harus Diperbaiki!
Aulia harus memulai pendidikan di pada pukul 03.00 WIB dan pulang dari ruang operasi pukul 01.00 WIB. Beban pendidikan dan praktik itu dia ceritakan ke orang tuanya.
Puncaknya, pada 25 Agustus 2022, dr. Aulia mengalami kecelakan tunggal pada pukul 01.30 WIB. Dia jatuh keselokan karena kelelahan sehingga mengalami luka di kaki dan punggung.
"Setelah jatuh itu, kakinya terluka, punggungnya sakit dan harus menjalani operasi. Anak saya sebelum ke Undip itu sehat," kata Malinah yang sudah bercucuran air mata.
Diceritakannya, dr. Aulia menjalani operasi sebanyak dua kali karena kecelakaan tersebut. Operasi terakhir yang dia lakukan yakni di RS Sultan Agung Semarang pada 26 Juli 2024.
Malinah mengatakan dengan kondisi sakit, ternyata tak membuat Dokter Aulia mendapatkan keringanan. Anaknya bahkan diminta mengangkut makanan untuk para seniornya dengan kondisi kaki pincang tanpa boleh menggunakann troli.
Baca Juga:Kasus Dugaan Perundungan Mahasiswi Undip Terus Diusut, Keluarga Korban Tak Menyerah
Bentakan demi bentakan juga kerap dialami dr. Aulia, padahal keluarga membesarkan dirinya dengan lemah lembut dan kasih sayang.
"Masuk di PPDS, anak saya dididik dengan cara yang kasar, suara yang melegar-legar, anak saya jadi ketakutan," tuturnya.
Malinah sudah beberapa kali menemui Kaprodi PPDS Anestesi Undip untuk mencarikan solusi atas kondisi anaknya. Namun, jawaban dari kaprodi membuatnya kaget.
"Saya menghadap, kaprodi, ada perlakuan yang seperti itu. Dijawabnya itu untuk melatih mental, dalam menghadapi berbagai pasien," katanya.
Dia pun mencerikan pungutan liar yang dialami anaknya. Diakatakannya, pungutan tersebut tidak hanya di semester pertama, tetapi juga di semester selanjut, meski nominalnya lebih kecil.
"Iuran yang besar itu di semester 1, semester selanjutnya masih iuran, tetapi nominalnya lebih kecil," katanya.
Papa Aulia Menyusul Sang Putri
Malinah mengatakan kedekatan anaknya lebih ke sang ayah. Setiap hari, almarhumah menceritakan kegiatannya hari itu kepada sang ayah sepulang dari RSUP Dr. Kariadi.
"Papanya selalu menunggu telepon dari anaknya. Ditunggu sampai pukul 1 pagi," katanya.
Karenanya, ketika sang ayah mendengar kabar putrinya meninggal bunuh diri, pembuluh darahnya pecah. Ayah dr. Aulia menjalani perawatan tiga hari di RSUP dr Mangunkusumo Jakarta. Kemudian dinyatakan meninggal dunia pada 27 Agustus 2024.
"Bantulah saya, tolong bantu saya Anak saya harusnya ke sekolah, cari ilmu tapi apa yang terjadi. Tidak hanya anak saya, tetapi juga suami saya. Tolong bantu saya cari keadilan. Ini tidak hanya satu nyawa. Harusnya suami saya masih mendampingi saya, ya Allah," ungkapnya.
Pelaku Bukan Anak Orang Sembarangan
Kuasa Hukum keluarga dr. Aulia, Misyal Achmad mengatakan bahwa pihaknya telah membuat laporan terkait kasus tewasnya Dokter Aulia Risma Lestari.
"Kami laporkan pelaku-pelaku intimidasi yang kami sendiri belum tahu secara pasti siapa orangnya. Yang jelas senior yang sedang diselidiki oleh kepolisian. Kalau sampai pembuktian benar, kaprodi juga bisa jadi tersangka, karena dia yang bertanggung jawab," katanya.
Dia pun meluruskan isu yang berkembang bahwa Kemenkes hanya menyedikan wadah dan Kemendikbudristek mengurusi proses pembelajaran.
"Ketika sudah proses belajar mengajar, itu milik Kemendikbud, programnya Kemendikbud, semua yang membuat kemendikbud. Tapi sayangnya, kaprodi membuat mandat menyerahkan proses belajar ini kepada senior-seniornya yang tidak jelas programnya dan SOP-nya," jelasnya.
Misyal mengatakan seharusnya ada SOP yang jelas terkait jam ke kerja mahasiswa PPDS Anestesi. "Manusia punya keterbatasan kemampuan, ini kan dianggap seperti robot," tandasnya.
Diungkapkannya, saat ini ada tiga mahasiwa PPDS Anestesi yang akan melaporkan dugaan perundungan yang dialami. Namun, ketiga meminta surat jaminan dari Kemendikbudristek dan Kemenkes RI.
"Kalau perundungan delik aduannya harus masih hidup. Jadi kami berharap tiga orang ini untuk melaporkan. Mereka teman seangkatan Dokter Aulia, dua sudah mengundurkan diri dari PPDS Anestesi undip. Jadi ini sudah kriminal yang luar biasa," tuturnya.
Sementara itu, kasus tewasnya Dokter Aulia, yang sedang didalami Polda Jateng adalah terkait pemerasan. Bukti yang dibawa pihaknya adalah catatan rekening koran sejumlah Rp 225 juta yang dikirimkan Malinah kepada sang putri.
"Tidak sampai 20 hari lagi akan ada tersangka terkait pemerasan itu," katanya.
Menurutnya, kasus ini merupakan kejahatan luar biasa yang dilakukan kaum intelektual. Para pelaku terlihat elegan, pintar, dan cerdas, tetapi sadis.
"Kalau kita menghadapi premen jelas, ini tidak jelas. Tidak bisa dibayangkan dokter yang kayak begini ini akan merawat kita ke depan, hancur kita," ujarnya.
Menurutnya, sanksi bagi pelaku yang terbukti terlibat dalam kasus ini adalah pidana sehingga izin praktiknya harus dicabut.
"Ini sedang dikaji betul-betul, mereka bukan anak orang sembarangan dan sanksinya pidana," tegasnya.
Kontributor : Sigit Aulia Firdaus