![Potret salah satu pengunjung sedang berdoa di dalam Klenteng Tay Kak Sei. Kamis (25/1/24) [Suara.com/Ikhsan]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/01/25/96872-klenteng-tay-kak-sie.jpg)
Pembuatan dupa oleh keluarga Kundori sudah dimulai sejak 30 tahun lalu. Sepeninggal ayahnya, Kundori tetap menggeluti usaha tersebut.
Dia mengaku, membuat dupa tak hanya soal bisnis. Meski dupa lebih dikenal pada tradisi China, tetapi menurutnya dupa merupakan bagian dari budaya asli masyarakat Indonesia.
"Dupa tradisional pasarnya masih ada, tetap saya pertahankan. Ini juga warisan budaya lokal, saya mencintai budaya dan berusaha mengembangkannya," tutur ayah dua anak itu.
Dia pun tidak hanya menjual dupa buatannya ke kelenteng, tetapi juga masyarakat secara umum. Di wilayahnya sendiri masih digunakan dalam sedekah bumi, tasyakuran, ziarah, dan ritual keagamaan Islam lainnya.
Baca Juga:7 Klenteng Bersejarah di Semarang untuk Merayakan Imlek 2025
"Saya tidak membatasi yang membeli harus orang Tionghoa, tidak. Ini (dupa) juga bagian budaya kita," katanya.
Dupa Waru Tergerus Zaman
Desa Waru Kecamatan Mranggen Demak telah lama dikenal sebagai sentra pembuatan dupa secara tradisional. Lebih dari sepuluh keluarga yang membuka usaha tersebut, dan bertahan selama puluhan tahun.
Namun kini, usaha pembuatan dupa di Desa Waru mulai meredup. Dari 10 pemilik usaha, hanya tersisa hanya keluarga Kundori. Itu pun setelah ditinggal mendiang ayahnya, hanya Kundori seorang diri yang masih membuat dupa di Desa Waru.
"Dulu saya punya lima pekerja di sini, sekarang cuma tinggal saya sendiri," ujarnya.
Baca Juga:Sejarah Wijkenstelsel: Akar Terbentuknya Pecinan di Jawa Tengah
Kendati begitu, Kundori tak patah arang. Untuk mempertahankan tradisi leluhur, ia bersama temannya membuat satu cabang produksi dupa di Desa Teluk, Kecamatan Karangawen Demak.