Ketiga terdakwa tersebut dijerat dengan sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni Pasal 368 tentang pemerasan, Pasal 378 tentang penipuan, atau Pasal 335 tentang pemaksaan.
Tindak pidana yang didakwakan menunjukkan indikasi kuat adanya tekanan dan intimidasi terhadap korban semasa hidupnya.
Selain penahanan terhadap para tersangka, kejaksaan juga menerima barang bukti penting yang dilampirkan dalam pelimpahan berkas.
Di antaranya adalah 19 unit telepon seluler milik tersangka, korban, serta para saksi, dan uang tunai sebesar Rp97 juta. Barang bukti ini akan menjadi bagian penting dalam proses pembuktian di persidangan mendatang.
Baca Juga:Tak Ada Lagi Kerja Overload, PPDS Anestesi Undip Terapkan Jadwal Istirahat dan Rotasi Baru
“19 telepon seluler ini antara lain milik tersangka, korban, dan para saksi,” terang Candra.
Kasus ini mencuat setelah Aulia Risma ditemukan meninggal dunia di kamar kosnya di Jalan Lempongsari, Kota Semarang, pada 12 Agustus 2024.
Dugaan kuat menyebut bahwa Aulia mengakhiri hidupnya sendiri akibat tekanan mental yang diterima selama menjalani pendidikan di lingkungan PPDS Fakultas Kedokteran Undip.
Kematian Aulia telah memicu gelombang keprihatinan masyarakat, khususnya terkait dugaan perundungan dan tekanan psikis yang dialami mahasiswa dalam lingkungan pendidikan kedokteran spesialis.
Munculnya dugaan intimidasi yang dilakukan oleh pihak dengan jabatan struktural di lingkungan kampus menjadi perhatian serius publik dan mendorong berbagai pihak untuk mendesak proses hukum yang transparan dan adil.
Baca Juga:Ibu dari Dokter Aulia Buka Suara, Tangis Pecah, Pelaku Perundungan Bukan Orang Sembarangan
Komitmen aparat penegak hukum dalam mengusut tuntas kasus ini pun menjadi sorotan utama. Dengan pelimpahan perkara ke pengadilan, harapan masyarakat agar kebenaran terungkap dan keadilan ditegakkan kini mulai menemui titik terang.
Persidangan yang akan digelar dalam waktu dekat diharapkan dapat menjawab pertanyaan publik dan menjadi momen evaluasi terhadap iklim pendidikan kedokteran di Indonesia, agar kasus serupa tidak kembali terjadi di masa mendatang.