SuaraJawaTengah.id - Empat dari lima mahasiswa yang ditetapkan sebagai tersangka dalam aksi peringatan Hari Buruh yang berakhir ricuh di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah, Semarang, pada 1 Mei 2025, resmi mengajukan gugatan praperadilan atas status tersangka mereka ke Pengadilan Negeri (PN) Semarang.
Langkah ini menjadi bentuk perlawanan hukum dari para mahasiswa tersebut terhadap proses penetapan status tersangka oleh aparat penegak hukum. Mereka menilai penetapan tersebut perlu diuji kembali melalui jalur praperadilan.
Juru Bicara Pengadilan Negeri Semarang, Haruno Patriadi, membenarkan adanya gugatan yang dilayangkan oleh para mahasiswa tersebut terhadap Polrestabes Semarang. Gugatan tersebut telah resmi didaftarkan pada 16 Juni 2025 lalu dan langsung ditindaklanjuti oleh pengadilan.
“Sudah ada penetapan hakim tunggal yang menyidangkan dan jadwal sidangnya,” kata Haruno dikutip dari ANTARA di Semarang, Sabtu (21/6/2025).
Baca Juga:BRI Semarang Dukung Penuh Program Koperasi Merah Putih: Siap Dampingi dengan Layanan Digital
Empat tersangka yang mengajukan praperadilan diketahui berinisial MAS, KM, ADA, dan ANH. Sementara satu tersangka lainnya, MJR, hingga kini belum mengajukan langkah hukum serupa.
Pengadilan Negeri Semarang menetapkan Hakim Tunggal Mira Sendangsari untuk memimpin proses praperadilan tersebut.
Sidang pertama dijadwalkan akan digelar pada 23 Juni 2025 mendatang, menandai dimulainya proses pembuktian apakah penetapan status tersangka terhadap para mahasiswa ini sudah sesuai prosedur hukum atau tidak.
Kasus ini berawal dari peringatan Hari Buruh yang berlangsung pada Kamis sore, 1 Mei 2025, di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah, Jalan Pahlawan, Kota Semarang.
Aksi yang semula berlangsung damai mendadak berubah ricuh setelah diduga muncul provokasi dari sekelompok massa berpakaian hitam yang menyusup di tengah-tengah barisan buruh.
Baca Juga:Ditargetkan Rampung 2027, Tol Semarang-Demak Seksi 1 Jadi Solusi Terpadu Atasi Rob dan Banjir
Kondisi semakin tidak terkendali dan membuat aparat kepolisian terpaksa membubarkan aksi tersebut. Dalam proses pengamanan, lima mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Kota Semarang ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan keterlibatan dalam kericuhan tersebut.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, kelima mahasiswa tersebut dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Semarang untuk proses penuntutan. Namun, Kejari mengambil langkah berbeda dalam proses penahanan.
Kejaksaan memutuskan untuk mengalihkan status penahanan para tersangka dari tahanan rutan menjadi tahanan kota. Kebijakan ini membuat para tersangka tetap harus menjalani proses hukum, tetapi dengan mekanisme pengawasan yang tidak seketat di rumah tahanan.
Dalam perkara ini, kelima mahasiswa dijerat dengan sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni Pasal 214 KUHP tentang melawan petugas, Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan, atau Pasal 216 KUHP tentang tidak menuruti perintah petugas.
Penggunaan pasal-pasal tersebut menimbulkan berbagai reaksi dari kalangan masyarakat, terutama dari kelompok pegiat hak asasi manusia dan akademisi. Mereka mempertanyakan sejauh mana bukti keterlibatan para mahasiswa dalam tindakan kekerasan yang terjadi saat aksi berlangsung.
Dengan adanya gugatan praperadilan ini, maka proses hukum terhadap kasus tersebut memasuki babak baru. Apabila hakim dalam praperadilan memutuskan bahwa penetapan status tersangka tidak sah, maka hal itu berpotensi menggugurkan proses hukum selanjutnya terhadap para penggugat.