- Pakar menilai gelar pahlawan untuk Soeharto harus lewat uji publik dan seminar akademik.
- Figur Soeharto sangat kompleks, diakui berjasa dalam pembangunan namun punya catatan kelam.
- Penilaian objektif diperlukan untuk menjaga marwah gelar pahlawan dan menghindari polemik.
SuaraJawaTengah.id - Usulan untuk menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto kembali mengemuka, sontak membangkitkan kembali memori kolektif bangsa yang terbelah.
Di satu sisi, Soeharto dipuja sebagai "Bapak Pembangunan", namun di sisi lain warisannya terbebani oleh catatan kelam Orde Baru.
Di tengah tarik-menarik ini, pakar menyerukan agar keputusan tidak didasarkan pada emosi, melainkan melalui mekanisme uji publik yang kredibel.
Pakar kebijakan publik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Prof Slamet Rosyadi, menegaskan bahwa jalan menuju gelar pahlawan bagi figur sekontroversial Soeharto harus melalui prosedur resmi dan transparan.
Baca Juga:BNPB Lakukan Modifikasi Cuaca, Langit Semarang-Grobogan Ditaburi 12 Ton Garam Cegah Hujan
Menurutnya, ini adalah satu-satunya cara untuk meredam polemik dan memberikan penilaian yang adil terhadap sang Jenderal Besar.
"Usulan itu sah-sah saja sepanjang melalui prosedur resmi. Dalam pengusulan gelar pahlawan nasional harus ada seminar di tiga universitas nasional agar pandangan akademisi dapat menjadi dasar penilaian kelayakan seseorang," ujar Prof Slamet di Purwokerto, dikutip dari ANTARA Selasa (28/10/2025).
Pengalaman Prof Slamet saat terlibat dalam pengusulan gelar pahlawan untuk kakek Presiden Prabowo Subianto, Raden Mas Margono Djojohadikoesoemo, membuatnya yakin bahwa aturan harus menjadi rujukan utama.
"Sepanjang yang saya tahu, usulan gelar pahlawan nasional tetap harus melewati tahapan administratif dan akademik yang ditetapkan. Hal itu juga menjaga agar prosesnya transparan dan kredibel," tambahnya.
Dua Wajah Warisan Soeharto
Baca Juga:4 Link DANA Kaget Siap Diklaim! Cuan Rp259 Ribu Menanti, Ini Cara Klaim dan Link Terbaru
Pro dan kontra yang meletup setiap kali nama Soeharto diusulkan menjadi pahlawan nasional adalah cerminan dari kompleksitas pemerintahannya selama 32 tahun.
Para pendukungnya menunjuk pada era stabilitas politik dan keberhasilan program ekonomi. Swasembada pangan, program Keluarga Berencana (KB), hingga pembangunan infrastruktur yang masif menjadi argumen utama bahwa jasanya bagi negara tak terbantahkan.
"Dari sisi positif, kata dia, Soeharto berperan besar dalam stabilitas ekonomi dan pembangunan," aku Prof Slamet.
Namun, narasi pembangunan itu berdiri di atas fondasi yang rapuh bagi para penentangnya. Rezim Orde Baru identik dengan pemerintahan otoriter yang membungkam suara-suara kritis, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menggurita.
TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menjadi bukti politik bahwa warisan ini diakui secara resmi oleh negara pasca-Reformasi.
"Namun di akhir masa jabatannya, berbagai persoalan seperti pelanggaran HAM dan lamanya kekuasaan menimbulkan persepsi negatif di mata publik," lanjut Guru Besar FISIP Unsoed itu.